Tawarikh Nusantara - Kitab Kesatu: Sumpah Sang Gajah Mada

Kingdenie
Chapter #31

Guncangan Seribu Tahun

Proses lompatan waktu kembali ke masa depan terasa jauh lebih menyakitkan daripada saat pergi. Perjalanan ke masa lalu terasa seperti sebuah penghapusan. Perjalanan kembali ini terasa seperti sebuah kelahiran paksa. Dirgantara merasakan setiap partikel tubuhnya ditarik melintasi koridor waktu sepanjang tujuh ratus tahun, setiap selnya menjerit dalam protes. Gema dari aroma tanah basah Pasundan, suara gamelan Trowulan, dan tatapan mata terakhir Ratna Laras direnggut paksa dari kesadarannya, digantikan oleh kehampaan yang dingin dan steril.

Ia tidak kembali ke ruang persiapan. Dengan desis pelepasan energi, ia terwujud di tengah sebuah koridor putih tanpa ujung di markas Lembaga Penjaga Garis Waktu. Lantainya yang mengilap memantulkan cahaya lampu LED yang dingin, dan udara yang masuk ke paru-parunya terasa kering dan artifisial, berbau ozon dan desinfektan. Keheningan di sini bukanlah keheningan alam, melainkan keheningan mesin, sebuah dengung konstan dari ribuan server yang bekerja tanpa henti, menjaga agar aliran waktu tetap pada jalurnya.

Untuk beberapa saat, Dirgantara hanya berdiri di sana, terhuyung-huyung. Di tangannya, ia masih menggenggam Kujang Pusaka Naga milik Ratna. Benda itu terasa aneh di sini, sebuah artefak kuno yang penuh jiwa di tengah dunia yang terbuat dari logam dan cahaya. Gagang kayunya yang hangat adalah satu-satunya pengingat nyata bahwa semua yang baru saja ia alami bukanlah mimpi. Ia bisa merasakan sisa kehangatan tangan Ratna di sana, sebuah gema dari perpisahan mereka. Rasa kehilangan yang tajam dan tak terduga menghantamnya, begitu kuat hingga ia nyaris berlutut. Ia telah berhasil, namun ia merasa telah meninggalkan separuh dirinya di abad ke-14.

Namun, disiplin seorang agen akhirnya mengambil alih. Emosi adalah kemewahan yang tidak ia miliki saat ini. Dengan langkah yang terasa berat, ia berjalan menyusuri koridor yang familier itu, tujuannya hanya satu: Ruang Arsip Utama, tempat di mana takdir dunia ditampilkan dalam bentuk data holografik. Ia harus melihat hasilnya. Ia harus tahu apakah pengorbanannya dan keberanian Bayan benar-benar telah mengubah sejarah.

Ruang arsip Lembaga menyambutnya dengan keheningan yang agung. Sebuah ruangan bundar raksasa dengan peta garis waktu tiga dimensi yang melayang di tengahnya, berkilauan dengan cahaya biru lembut. Dirgantara melangkah ke konsol utama, dan sistem langsung mengenali biometriknya.

“Selamat datang kembali, Agen Pramudya. Misi S-M 1357 telah selesai. Garis waktu sedang dikalibrasi ulang.”

Dirgantara menatap peta itu dengan napas tertahan. Ia melihat titik merah menyala yang tadinya menandai “TITIK RETAK: PERANG BUBAT, 1357” kini berkedip-kedip, lalu warnanya berubah menjadi hijau yang menenangkan. Statusnya berganti menjadi: “STABIL. KONFLIK DIHINDARI.”

Sebuah gelombang kelegaan yang luar biasa membanjiri dirinya, begitu kuat hingga kakinya terasa lemas. Ia berhasil. Semua keputusasaan, semua pertaruhan gila, semuanya terbayar. Ia telah melakukannya. Ia telah menyelamatkan ratusan nyawa dan mengubah sebuah tragedi menjadi sebuah persatuan.

Namun, kelegaannya hanya berlangsung sesaat.

Saat kalibrasi ulang selesai, sebuah alarm peringatan berbunyi nyaring di seluruh ruangan. Di peta garis waktu, jauh di masa lalu, di sekitar abad ke-7 hingga ke-12, sebuah titik yang tadinya stabil kini mulai memerah, lalu berubah menjadi warna merah tua yang mengancam. Ukurannya jauh lebih besar dan lebih ganas daripada anomali Bubat. Teks peringatan muncul di sebelahnya, berkedip-kedip dengan urgen: PERINGATAN. ANOMALI KELAS BERAT TERDETEKSI. KEBANGKITAN KEMBALI SRIWIJAYA IMPERIAL.

Jantung Dirgantara serasa berhenti berdetak. Sriwijaya? Seharusnya itu adalah kerajaan maritim besar yang perlahan memudar sebelum kebangkitan Majapahit.

Lihat selengkapnya