Kedatangan Dirgantara di zaman ini bukanlah sebuah pendaratan, melainkan sebuah tabrakan. Ia terwujud di tengah-tengah amukan badai, tubuhnya yang baru saja terkoyak oleh perjalanan waktu langsung dihantam oleh dinding air hujan dan raungan angin yang memekakkan telinga. Ia jatuh menghantam permukaan kayu yang basah dan licin, geladak sebuah kapal yang bergoyang hebat di atas ombak yang ganas. Untuk sesaat, ia tidak tahu di mana ia berada, hanya ada kegelapan, air, dan kekacauan.
Lalu, sebuah ujung badik yang dingin dan tajam menempel di lehernya, menariknya kembali pada kesadaran yang brutal.
“Siapa kau, Iblis Laut?!”
Teriakan itu datang dari seorang pelaut berwajah keras, kulitnya gelap terbakar matahari dan matanya menyala penuh kecurigaan di bawah cahaya kilat yang menyambar di kejauhan. Di sekelilingnya, belasan pelaut lain, orang-orang Bugis dan Makassar yang sama kerasnya telah mengepungnya, tangan mereka tak pernah jauh dari gagang badik dan pedang.
Kemunculan Dirgantara yang tiba-tiba di tengah-tengah geladak kosong adalah sebuah keajaiban yang menakutkan, sebuah pertanda buruk di tengah badai yang sudah cukup mengerikan.
Dirgantara mengangkat tangannya perlahan, mencoba menunjukkan bahwa ia tidak berniat buruk. Implannya bekerja keras, mencoba memilah bahasa lokal yang kasar dan cepat itu dari raungan angin.
“Aku … aku bukan musuh,” katanya, suaranya nyaris hilang ditelan badai.
“Semua yang bukan kawan adalah musuh di lautan ini!” balas si pelaut. “Kau mata-mata Kompeni? Atau jin yang dikirim oleh Arung Palakka untuk menenggelamkan kami?”
Sebelum Dirgantara sempat menjawab, sebuah ombak raksasa menghantam sisi kapal pinisi itu, membuat semua orang terlempar. Dirgantara berhasil berpegangan pada sebuah tiang layar, tubuhnya basah kuyup dan memar. Ia melihat sekelilingnya, dan untuk pertama kalinya, ia menyadari skala bahaya yang sesungguhnya. Kapal kayu yang megah ini sedang sekarat. Salah satu dari dua tiang layarnya telah patah, layarnya yang sobek terkoyak-koyak ditiup angin seperti bendera compang-camping. Air laut tumpah ke geladak lebih cepat daripada yang bisa dibuang oleh para awak kapal.
Di geladak atas, seorang lelaki yang lebih tua dengan sorban di kepala, sang nakhoda berteriak-teriak memberikan perintah, suaranya parau dan putus asa. Namun, badai itu terlalu kuat. Alam sedang menunjukkan kekuatannya yang absolut, dan di hadapannya, manusia-manusia pemberani ini hanyalah serpihan-serpihan kayu yang rapuh.
Saat itulah, indera superior Dirgantara menangkap sesuatu yang lebih buruk. Implannya, yang secara otomatis menganalisis data lingkungan, menampilkan sebuah proyeksi di benaknya. Gelombang yang baru saja menghantam mereka bukanlah gelombang biasa. Itu adalah pertanda dari datangnya sebuah gelombang raksasa, sebuah dinding air abnormal yang terbentuk oleh pola angin yang aneh, yang kini sedang meluncur ke arah mereka dalam kegelapan. Selain itu, implannya juga memetakan dasar laut di bawah mereka: sebuah gugusan terumbu karang tajam yang tersembunyi, tepat di jalur kapal mereka.
Mereka terjebak di antara dua ancaman mematikan.
Para pelaut itu, yang kini telah melupakan Dirgantara, berjuang untuk mengendalikan kapal mereka. Sang nakhoda berteriak, “Putar haluan ke kanan! Hadapi ombak itu secara langsung!” Sebuah manuver standar, sebuah tindakan pemberani yang dalam situasi ini, akan menjadi sebuah kesalahan fatal. Implan Dirgantara menunjukkan bahwa jika mereka menghadapinya secara langsung, gelombang itu akan menghancurkan kapal mereka menjadi serpihan.
Tidak ada waktu untuk negosiasi. Tidak ada waktu untuk penjelasan.
“SALAH!” teriak Dirgantara, suaranya ia proyeksikan dengan bantuan implannya, mengalahkan raungan badai untuk sesaat. “JIKA KAU MENGHADAPINYA, KITA SEMUA AKAN MATI!”