Fajar yang menyingsing di atas Laut Sulawesi adalah sebuah lukisan yang terbuat dari warna perak dan ungu. Badai telah berlalu, meninggalkan lautan yang tenang namun masih bergelombang, seolah bernapas lega setelah amukan yang dahsyat. Kapal pinisi yang dinakhodai oleh Daeng Awing, yang kini hanya memiliki satu tiang layar utama dan lambung yang terluka, berlayar tertatih-tatih menuju daratan yang samar-samar terlihat di cakrawala, diiringi oleh sekawanan lumba-lumba yang melompat-lompat seolah merayakan keselamatan mereka.
Dirgantara berdiri di anjungan, merasakan semilir angin pagi yang asin di wajahnya. Rasa lelah dari pertarungan di masa depan dan pertarungan melawan badai masih terasa hingga ke tulangnya, namun pikirannya tajam. Ia menatap ke arah pesisir yang semakin jelas, dan kekaguman mulai menggantikan kelelahannya.
Yang ia lihat bukanlah sekadar sebuah kota pelabuhan. Yang menyambutnya adalah sebuah benteng raksasa.
Benteng Somba Opu.
Bahkan dari kejauhan, kemegahannya yang militan sudah terasa. Berbeda dari Trowulan yang anggun dengan bata merahnya, atau Palembang yang ramai dengan gudang-gudang kayunya, Somba Opu adalah perwujudan dari kekuatan yang mentah dan tak kenal kompromi. Dindingnya yang tebal, dibangun dari campuran batu karang, bata, dan tanah liat, membentang berkilo-kilometer di sepanjang garis pantai, tampak seolah tumbuh secara alami dari bumi itu sendiri. Di atas dinding-dinding itu, ratusan moncong meriam dari berbagai ukuran, hadiah dari sekutu Portugis dan rampasan perang dari kapal-kapal Eropa menatap diam ke arah lautan, seperti mata-mata naga yang tak pernah berkedip.
Saat kapal mereka semakin dekat dan memasuki pelabuhan utama, pemandangan itu menjadi semakin mengintimidasi. Ratusan kapal perang Gowa, kapal-kapal pinisi yang ramping dan perahu-perahu padewakang yang lincah berlabuh dengan teratur, tiang-tiang layar mereka menjulang seperti hutan yang tak berdaun. Di setiap kapal, para pelaut Bugis-Makassar bergerak dengan efisiensi yang terlatih, wajah-wajah mereka keras, kulit mereka gelap terbakar matahari, dan sebilah badik selalu terselip di sarung di pinggang mereka.
“Selamat datang di rumah kami, Tuan Dirgantara,” kata Daeng Awing, yang kini berdiri di sampingnya. Ada nada kebanggaan yang dalam di suaranya. “Inilah Makassar. Inilah Benteng Terakhir Nusantara.”
Saat kapal mereka merapat, Dirgantara akhirnya menginjakkan kaki di tanah Gowa. Atmosfer kota ini seketika menyergapnya. Jika Palembang beraroma rempah dan perniagaan, maka Makassar beraroma garam, mesiu, dan baja yang sedang ditempa. Suara yang dominan bukanlah tawar-menawar para pedagang, melainkan dentuman palu dari para pandai besi yang sedang memperbaiki meriam, dan teriakan para komandan yang sedang melatih prajurit di lapangan-lapangan terbuka. Ini adalah sebuah kota yang sedang berperang.
Daeng Awing menepati janjinya. Ia tidak membawa Dirgantara sebagai tawanan, melainkan sebagai tamu aneh yang harus dilaporkan. "Aku harus melapor pada atasanku terlebih dahulu," katanya. "Tunggulah di sini. Jangan berbuat macam-macam. Di kota ini, sebilah badik terhunus lebih cepat daripada kata maaf terucap."
Dirgantara ditinggalkan di sebuah kedai sederhana di dekat dermaga, di bawah pengawasan dua pelaut Daeng Awing. Ia menggunakan waktu itu untuk mengamati. Ia melihat para lelaki Makassar, tubuh mereka tegap, langkah mereka mantap, tatapan mereka tajam dan penuh harga diri. Ia melihat para perempuan, yang bergerak dengan keanggunan yang sama namun dengan sorot mata yang tak kalah tajamnya. Mereka adalah bangsa pelaut, bangsa pejuang. Rasa takut bukanlah mata uang yang laku di sini.
Ia melihat sekelompok prajurit VOC berjalan di kejauhan, seragam biru mereka tampak begitu asing dan kaku di tengah lautan sarung dan ikat kepala. Mereka berjalan dengan angkuh, namun mereka tidak berani masuk terlalu dalam ke lorong-lorong pasar tanpa pengawalan lengkap. Mereka adalah penguasa di lautan, tetapi di daratan ini, mereka hanyalah tamu yang tidak diundang. Suasana di kota ini berbeda dari semua yang pernah ia rasakan. Ia merasakan sebuah energi yang keras kepala, sebuah semangat perlawanan yang murni. Sebuah kebanggaan yang tak sudi tunduk.
Ia menyentuh Kujang Naga yang tersembunyi di balik pakaiannya. Atmosfer yang militan dan penuh harga diri ini, anehnya, mengingatkannya pada Ratna Laras. Ratna akan menyukai tempat ini, pikirnya. Di sini, kehormatan masih menjadi udara yang mereka hirup. Lalu, pikirannya melayang pada Zahira. Ia membayangkan apa yang akan dilihat oleh Zahira di sini. Bukan hanya sebuah benteng, tetapi sebuah pelabuhan dengan potensi yang terhambat oleh perang.
Lamunannya buyar saat seorang prajurit istana yang mengenakan zirah yang lebih bagus menghampiri mejanya. "Daeng Awing telah menyampaikan ceritanya," kata prajurit itu, matanya mengamati Dirgantara dengan tajam. "Sebuah cerita yang sulit dipercaya. Sultan ingin melihatmu."