Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir

Kingdenie
Chapter #4

Jejak Lintas Tiga Abad

Keheningan yang menyelimuti balai penghadapan itu terasa lebih dingin dan lebih mematikan daripada badai mana pun di lautan. Udara yang tadinya hanya terasa berat oleh wibawa seorang raja, kini terasa sesak oleh kemustahilan. Di hadapan Dirgantara, di atas meja kayu hitam itu, terbentang sebuah paradoks yang seharusnya tidak pernah ada: sebuah sketsa wajahnya dari abad ke-14, kini berada di abad ke-17, di tangan seorang Sultan yang matanya menuntut sebuah jawaban yang tidak ia miliki.

Untuk sesaat, seluruh sistem di dalam tubuh Dirgantara seolah berhenti berfungsi. Implannya, yang bisa memproses jutaan skenario pertempuran dalam hitungan detik, kini membeku. Tidak ada data untuk ini. Tidak ada protokol untuk menghadapi hantu dari masa depanmu sendiri yang muncul di masa lalu. Ia merasa seperti sedang menatap cermin yang retak, cermin yang memantulkan gema dari kehidupannya yang lain, sebuah gema yang melintasi tiga ratus tiga puluh dua tahun untuk datang dan menghakiminya.

Penyihir asing. Mengalahkan Mahapatih Majapahit dalam duel. Membawa senjata aneh berbentuk bulan sabit. Menghilang menjadi cahaya.

Kata-kata itu, yang tertulis dalam aksara Jawa Kuno di bawah sketsa wajahnya, adalah sebuah ringkasan yang brutal dan akurat dari puncaknya di Trowulan. Sebuah kisah yang seharusnya hanya tersimpan dalam arsip rahasia Lembaga dan di dalam hati seorang pengawal perempuan bernama Ratna Laras.

"Bagaimana mungkin ..." bisiknya, lebih pada dirinya sendiri daripada pada sang Sultan.

"Pertanyaan yang bagus," sahut Sultan Hasanuddin, suaranya yang rendah kini terdengar seperti geraman singa yang sedang mengendus mangsanya. "Aku juga menanyakan hal yang sama. Lontar ini dibawa oleh seorang saudagar Bugis dari Gresik. Ia mendapatkannya dari seorang juru tulis tua yang keluarganya telah menyimpan cerita-cerita aneh dari zaman Majapahit. Sebuah dongeng, tentu saja. Tapi dongeng menjadi menarik ketika iblis dari dongeng itu muncul di atas kapalku."

Dirgantara mengangkat kepalanya, mencoba mengendalikan debaran jantungnya yang menggila. Ia menatap dua orang yang kini menjadi hakim dan juri atas keberadaannya. Sang Sultan, yang matanya menuntut kebenaran. Dan perempuan penasihat di sisinya, yang sejak tadi berdiri diam di bayang-bayang.

Kini, saat ia menatap perempuan itu, ia melihatnya dengan lebih jelas. Ia tidak lagi muda, mungkin seusia dengan atasannya di Lembaga, namun wajahnya menunjukkan kecerdasan yang abadi. Ia mengenakan pakaian bangsawan Makassar yang sederhana namun anggun, dan di tangannya ia memegang sebuah pena kalam dan buku catatan kecil, seolah seluruh dunia adalah sebuah arsip yang menunggu untuk dicatat. Matanya yang jeli menatap Dirgantara bukan dengan permusuhan, melainkan dengan rasa ingin tahu yang begitu dalam, tatapan seorang sejarawan yang baru saja menemukan sebuah artefak hidup yang mustahil. Ini pasti Daeng Ratu, sang ahli arsip istana.

"Aku menunggu jawabanmu, cendekiawan," kata Sultan Hasanuddin, nadanya tidak sabar.

Dirgantara menarik napas dalam-dalam. Berbohong lebih jauh adalah sebuah kegilaan. Sultan ini terlalu cerdas. Mengatakan kebenaran yang sesungguhnya, tentang perjalanan waktu, tentang Lembaga, tentang teknologi futuristik akan membuatnya langsung dicap sebagai penyihir gila dan dieksekusi saat itu juga. Ia hanya punya satu jalan. Sebuah jalan di antara kebohongan dan kebenaran. Sebuah pengakuan yang dibungkus dalam bahasa yang bisa dipahami oleh zaman ini.

"Paduka benar," kata Dirgantara pelan, suaranya mantap meskipun seluruh dunianya sedang runtuh. "Dongeng itu … sebagian besar benar adanya."

Sultan Hasanuddin tidak tampak terkejut. Ia hanya mengangkat alisnya sedikit, sebuah isyarat bagi Dirgantara untuk melanjutkan.

Lihat selengkapnya