Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir

Kingdenie
Chapter #5

Persekutuan di Dalam Sangkar Emas

Waktu seolah merayap di dalam balai penghadapan yang kini terasa sunyi. Ancaman Sultan Hasanuddin menggantung di udara, dingin dan tak terbantahkan. Dirgantara berdiri di sana, jantungnya masih berdebar kencang, menatap wajah Sultan yang keras seperti batu karang. Ia telah mempertaruhkan segalanya pada satu prediksi, satu kilasan pengetahuan dari masa depan yang kini menjadi satu-satunya penentu hidup atau matinya.

Sultan Hasanuddin bangkit dari singgasananya. Ia tidak menatap Dirgantara lagi. Ia seolah sudah menganggap urusan ini selesai, vonisnya telah dijatuhkan, dan kini ia hanya tinggal menunggu eksekusinya, baik eksekusi rencananya, maupun eksekusi leher Dirgantara.

“Daeng,” katanya, suaranya kembali menjadi perintah seorang raja. “Urus dia.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, sang Sultan berbalik dan berjalan melewati sebuah pintu di belakang singgasananya, jubah merah darahnya berkibar sesaat sebelum menghilang ditelan kegelapan koridor pribadi.

Kini, hanya tinggal Dirgantara dan perempuan penasihat itu, Daeng Ratu, di dalam ruangan yang luas dan senyap. Para penjaga di luar pintu tidak masuk, seolah mengerti bahwa balai itu kini telah menjadi wilayah kekuasaan sang penasihat.

Daeng Ratu menatap Dirgantara, dan untuk pertama kalinya, ia tidak lagi berdiri di bayang-bayang. Cahaya dari jendela-jendela besar menerangi wajahnya, menunjukkan garis-garis kebijaksanaan dan kelelahan di sekitar matanya yang jeli. Ia tidak menunjukkan permusuhan atau ancaman. Yang ada hanyalah sebuah rasa ingin tahu yang begitu dalam, tatapan seorang arsiparis yang baru saja menemukan sebuah naskah kuno yang mustahil, yang ditulis dalam bahasa yang tak dikenal.

“Mari, Tuan Penjaga Waktu,” katanya, suaranya tenang dan melodius. “Wisma tamu istana telah menantimu.”

Dirgantara mengikuti perempuan itu keluar dari balai penghadapan. Seperti yang dikatakan Sultan, dua puluh prajurit pengawal kerajaan terbaik, yang dikenal sebagai Pasukan Bissue, telah menunggu. Zirah mereka berkilauan dan tatapan mereka kosong, efisien, dan mematikan. Mereka tidak mengikat tangan Dirgantara. Sebaliknya, mereka membentuk formasi pengawalan yang longgar namun tak tertembus di sekelilingnya dan Daeng Ratu. Ini adalah sebuah penghormatan yang menakutkan; ia diperlakukan bukan sebagai penjahat rendahan, melainkan sebagai aset berharga yang sangat berbahaya.

Wisma tamu istana adalah sebuah bangunan indah yang terpisah dari istana utama, dikelilingi oleh taman bunga yang terawat rapi dan kolam kecil yang airnya jernih. Dari luar, tempat itu tampak seperti surga yang tenang. Namun, saat Dirgantara melangkah masuk, ia melihat para penjaga Bissue mengambil posisi di setiap sudut, di setiap pintu, bahkan di atas atap. Ini adalah sangkar emasnya.

Ruangan di dalamnya luas dan nyaman, dilengkapi dengan dipan berukir, meja tulis dari kayu eboni, dan bahkan beberapa gulungan lontar berisi syair-syair lokal. Jendelanya besar, memberikan pemandangan langsung ke taman. Namun, di setiap jendela itu, teralis-teralis besi yang diukir halus menjadi pengingat konstan bahwa ia adalah seorang tawanan.

“Sultan memberimu dua minggu,” kata Daeng Ratu setelah para pelayan meletakkan teh hangat dan penganan di atas meja. “Jika dalam dua minggu tidak ada pergerakan dari Kompeni seperti yang kau ramalkan, maka kata-katamu akan dianggap sebagai bualan seorang pembohong.”

“Mereka akan datang,” kata Dirgantara dengan keyakinan yang ia paksakan, meskipun di dalam hatinya ada secercah ketakutan. Garis waktu bisa berubah. Satu tindakan kecil yang ia lakukan mungkin saja telah mengubah jadwal serangan VOC.

Lihat selengkapnya