Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir

Kingdenie
Chapter #6

Ujian di Bawah Tembok Benteng

Dua minggu. Empat belas hari. Di dalam keabadian garis waktu, itu hanyalah sekejap mata. Namun bagi Dirgantara, yang terkurung di dalam sangkar emasnya di wisma tamu Istana Tamalate, empat belas hari itu terasa seperti sebuah penyiksaan yang lambat dan tak berkesudahan. Setiap fajar yang menyingsing tanpa kabar adalah satu paku lagi yang ditancapkan ke peti matinya. Setiap senja yang turun dalam keheningan adalah satu langkah lebih dekat menuju pedang sang Sultan.

Ia menghabiskan hari-harinya dalam sebuah rutinitas yang aneh. Pagi hari ia habiskan untuk berlatih di taman pribadinya, menggerakkan tubuhnya dalam rangkaian kuda-kuda dan tangkisan yang diajarkan Ratna Laras. Gerakan-gerakan itu, yang tadinya terasa canggung, kini menjadi sebuah meditasi, sebuah cara untuk menenangkan pikirannya yang bergejolak dan untuk merasakan gema dari dunianya yang lain, tiga ratus tahun di masa depan. Kujang Pusaka Naga selalu menemaninya, bukan sebagai senjata, melainkan sebagai saksi bisu, bilahnya yang dingin memantulkan langit Makassar yang cerah dan tak berawan.

Siang hari adalah waktu untuk pertempuran intelektual. Daeng Ratu akan datang, membawa gulungan-gulungan lontar dan peta-peta baru. Mereka akan duduk berhadapan selama berjam-jam, di bawah pengawasan ketat para penjaga Bissue. Mereka berdebat tentang sejarah, berdiskusi tentang strategi, dan menenun sebuah rencana pertahanan yang semakin kompleks untuk Gowa. Dirgantara merasakan kecerdasan perempuan itu setajam bilah badik. Daeng Ratu tidak hanya menyerap pengetahuannya; ia menantangnya, mempertanyakannya, dan kemudian mengadaptasikannya ke dalam konteks lokal yang ia pahami dengan begitu mendalam. Aliansi mereka tumbuh, ditempa dalam api dialektika dan didasari oleh tujuan bersama.

Namun, di luar surga intelektual mereka yang terisolasi, tekanan terus meningkat. Dirgantara bisa merasakannya dari tatapan para penjaga yang semakin dingin. Ia bisa mendengarnya dari bisik-bisik para menteri yang ia tangkap saat mereka melintas. Dongeng tentang “penjaga waktu” telah menyebar, dan sebagian besar dewan istana menganggapnya sebagai seorang penipu ulung yang telah berhasil menyihir Sultan mereka. Seorang panglima tua bernama Karaeng Patingalloang, yang dikenal karena sifatnya yang skeptis dan kesetiaannya yang buta pada tradisi, menjadi penentangnya yang paling vokal.

“Sudah sepuluh hari!” raung sang Karaeng dalam sebuah pertemuan dewan yang suaranya sampai ke wisma tamu Dirgantara. “Kita menahan pasukan kita dalam siaga tinggi, menghabiskan beras dan mesiu, hanya karena dongeng seorang asing yang muncul dari badai! Sementara itu, Kompeni menertawakan kita! Kita terlihat seperti orang-orang bodoh yang ketakutan pada bayangannya sendiri!”

Dirgantara hanya bisa mendengarkan, hatinya mencelos. Keyakinannya pada data dari masa depan mulai goyah di hadapan keraguan yang begitu kuat dari masa kini. Bagaimana jika ia salah? Bagaimana jika kedatangannya sendiri telah menciptakan riak kecil yang mengubah jadwal serangan VOC? Jika prediksinya tidak terbukti, ia tidak hanya akan mati. Ia juga akan menghancurkan kredibilitas Daeng Ratu dan mungkin Sultan Hasanuddin sendiri.

Pada hari kedua belas, saat harapan hampir padam, kabar pertama itu datang.

Seorang pengintai dari suku laut Bajau, yang ditempatkan di dekat Kepulauan Selayar, tiba dengan perahu cadik tercepatnya. Wajahnya tegang. Ia melaporkan telah melihat pergerakan armada VOC yang tidak wajar. Bukan patroli biasa. Jumlahnya lebih dari tiga puluh kapal, bergerak ke arah utara, bukan ke arah Makassar.

Di dewan perang, Karaeng Patingalloang langsung menepis laporan itu. “Sebuah pengalihan! Mereka hanya mencoba membuat kita panik! Arahnya bahkan tidak menuju kemari!”

Namun, Daeng Ratu, yang telah mempelajari strategi Dirgantara, melihatnya dengan cara yang berbeda. Ia meminta izin Sultan untuk berbicara dengan Dirgantara. Di wisma tamu, di hadapan peta laut yang besar, Dirgantara menunjuk ke arah pergerakan armada itu.

“Ini dia,” katanya, suaranya mantap meskipun jantungnya berdebar kencang. “Ini adalah awal dari permainan mereka. Armada utama ini adalah pengalih perhatian. Mereka sengaja menunjukkan diri, bergerak ke utara untuk menarik armada Gowa keluar dari Somba Opu dan mengejar mereka. Sementara itu …” ia menelusuri sebuah garis imajiner di peta, “… pasukan darat mereka yang sesungguhnya kini pasti sedang mendarat secara rahasia di Teluk Laikang, di sini.” Ia menunjuk sebuah titik di pesisir yang sepi. “Dan dari sana, mereka akan berjalan kaki melewati hutan, menyerang Benteng Panakkukang dari belakang.”

Lihat selengkapnya