Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir

Kingdenie
Chapter #7

Dua Pikiran, Satu Benteng

Kemenangan di Panakkukang mengubah segalanya. Kabar tentang bagaimana pasukan Gowa yang lebih kecil berhasil menghancurkan detasemen darat VOC dalam sebuah penyergapan cerdas menyebar di seluruh Somba Opu seperti api, membangkitkan kembali moral rakyat yang tadinya mulai goyah. Namun, yang paling berubah adalah posisi Dirgantara di dalam hierarki istana.

Pagi hari setelah kemenangan itu, ia tidak lagi terbangun di wisma tamu yang terisolasi. Atas perintah Sultan, ia dipindahkan ke sebuah bilik pribadi di sayap utama Istana Tamalate, sebuah ruangan yang biasanya disediakan untuk penasihat-penasihat paling tepercaya. Biliknya kini bersebelahan langsung dengan perpustakaan dan ruang arsip kerajaan, sebuah gestur simbolis yang dirancang oleh Daeng Ratu: sang sumber pengetahuan kini ditempatkan di sebelah sumber pengetahuan lainnya. Para penjaga Bissue yang tadinya mengawasinya dengan tatapan curiga kini berdiri di luar pintunya dengan sikap hormat, berfungsi sebagai pelindung, bukan lagi sebagai sipir.

Perubahan sikap itu terasa di seluruh istana. Para menteri dan panglima yang tadinya menatapnya dengan pandangan merendahkan kini membungkuk sedikit lebih dalam saat berpapasan dengannya. Bahkan Karaeng Patingalloang, panglima tua yang paling vokal menentangnya, mencegatnya di koridor istana pagi itu. Wajahnya yang keras tampak kaku karena rasa malu.

“Prediksimu … akurat, Tuan Penasihat,” kata sang Karaeng, suaranya berat. “Kau telah menyelamatkan banyak prajurit yang baik hari itu. Maafkan keraguanku yang buta.”

“Kita semua memiliki tujuan yang sama, Karaeng,” jawab Dirgantara dengan sopan, menerima permintaan maaf itu tanpa keangkuhan. “Yaitu keselamatan Gowa.”

Dirgantara tidak merasakan kemenangan pribadi dari semua ini. Sebaliknya, beban di pundaknya terasa semakin berat. Dulu, saat ia hanya seorang tawanan, kegagalan hanya akan berakibat pada kematiannya sendiri. Kini, sebagai Penasihat Perang Utama, setiap kata dan keputusannya akan menentukan nasib ribuan nyawa. Tekanan untuk terus menjadi “peramal” yang tak pernah salah terasa begitu besar.

Siang itu, Sultan Hasanuddin mengumpulkan seluruh dewan perangnya di balai utama. Kali ini, suasananya sangat berbeda. Tidak ada lagi perdebatan sengit atau cemoohan. Yang ada hanyalah keseriusan dan antisipasi yang tegang. Dirgantara duduk di meja utama, di sebelah kanan Daeng Ratu, sebuah posisi kehormatan yang menunjukkan status barunya.

“Kemenangan di Panakkukang memberi kita waktu,” mulai Sultan Hasanuddin, suaranya menggema di ruangan. “Tapi jangan tertipu. Itu hanyalah gigitan nyamuk di kulit seekor gajah. Badai yang sesungguhnya masih akan datang. Tuan Dirgantara,” ia menoleh, “kau telah menunjukkan pada kami apa yang bisa mereka lakukan. Sekarang, tunjukkan pada kami bagaimana cara mengalahkan mereka.”

Semua mata tertuju pada Dirgantara. Inilah panggungnya. Dengan ketenangan yang ia paksakan, ia bangkit dan berjalan ke arah peta raksasa yang terbentang di tengah ruangan.

“Ampun, Paduka Sultan, para Karaeng sekalian,” mulainya. “Musuh yang kita hadapi memiliki tiga keunggulan utama: jumlah kapal yang lebih banyak, jangkauan meriam yang lebih jauh, dan persekutuan dengan Arung Palakka yang memberi mereka kekuatan darat yang signifikan.” Ia menatap para panglima satu per satu. “Melawan mereka secara langsung di lautan terbuka atau di medan perang darat adalah strategi yang akan menghabiskan sumber daya kita dan berakhir dengan kekalahan.”

Lihat selengkapnya