Kemenangan di Panakkukang telah menyalakan kembali api semangat di jantung Somba Opu. Di bawah kepemimpinan strategis Dirgantara dan Daeng Ratu, serta eksekusi lapangan oleh para panglima yang kini patuh, Gowa tidak lagi hanya bertahan. Mereka mulai melawan balik dengan cara yang cerdas dan tak terduga, membawa pertarungan ke lautan yang luas, halaman rumah mereka yang sesungguhnya.
Operasi pertama di bawah doktrin perang asimetris yang baru itu diberi nama sandi “Operasi Gunting Cengkih”. Sasarannya bukanlah armada perang VOC yang dijaga ketat, melainkan urat nadi ekonomi mereka yang rentan. Di ruang perang istana, Dirgantara, Daeng Ratu, dan seorang komandan laut muda yang pemberani bernama Daeng Mabéla, membungkuk di atas sebuah peta Laut Flores.
“Mata-mata kita dari Ternate melaporkan sebuah iring-iringan kecil akan berangkat dari Ambon dalam tiga hari,” jelas Daeng Ratu, jarinya menunjuk sebuah rute di peta. “Tiga kapal barang penuh dengan cengkih dan pala yang baru dipanen, hanya dikawal oleh dua kapal perang kecil. Mereka pikir kita terlalu sibuk menjaga Makassar untuk peduli pada harta karun mereka di Maluku.”
“Mereka meremehkan kita,” kata Daeng Mabéla, matanya berkilat. “Itu akan menjadi kesalahan terakhir mereka.”
Dirgantara menunjuk sebuah gugusan pulau karang yang sepi di tengah rute konvoi itu. “Di sini,” katanya. “Arusnya paling deras dan sering kali berkabut di pagi hari. Tempat yang sempurna untuk sebuah penyergapan.”
Seminggu kemudian, di perairan Laut Flores yang biru dan tenang saat fajar, Operasi Gunting Cengkih dieksekusi dengan sempurna. Lima perahu padewakang Gowa yang cepat dan lincah, yang dipimpin oleh Daeng Mabéla, muncul dari balik kabut pagi seperti hantu. Mereka tidak langsung menyerang kapal perang pengawal. Sebaliknya, mereka meluncur cepat, mengabaikan tembakan meriam yang tidak akurat, dan langsung menyasar ketiga kapal kargo yang lamban. Pertempuran itu singkat, brutal, dan efisien. Sebelum armada VOC yang lebih besar di pangkalan terdekat sempat merespons, ketiga kapal kargo itu telah terbakar hebat, muatan rempah-rempah mereka yang tak ternilai kini menjadi asap wangi yang membumbung ke langit. Skuadron Daeng Mabéla menghilang kembali ke dalam kabut tanpa satu pun korban jiwa.
Kabar kemenangan itu disambut dengan sorak-sorai di dewan perang Somba Opu. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, mereka berhasil memukul Kompeni di tempat yang paling menyakitkan: pundi-pundi emas mereka. Sultan Hasanuddin menatap Dirgantara dengan anggukan puas. Strategi baru itu berhasil. Mereka telah membuktikan bahwa seekor semut pun bisa melukai seekor gajah jika ia tahu di mana harus menggigit.
Namun, di tengah perayaan kecil itu, Dirgantara tidak merasakan kelegaan. Ia menduga Kaelan, sang Agen Pembelot kini bersama mereka, dan ia bukanlah seorang jenderal bodoh yang akan membiarkan jalur pasokannya diserang tanpa balasan. Ia tahu keheningan yang mengikuti serangan kecil itu bukanlah tanda kebingungan, melainkan tanda dari sebuah perhitungan yang dingin. Kaelan mungkin sedang mempersiapkan serangan balasan. Dan Dirgantara tahu, serangan itu akan datang dengan cara yang tidak akan pernah mereka duga, sebuah serangan yang dirancang untuk menyakiti bukan hanya tubuh, tetapi juga jiwa.
Serangan itu datang tiga hari kemudian. Bukan dari laut, melainkan dari darat.
Seorang prajurit penjaga dari Benteng Barombong di pesisir selatan tiba di istana, menunggang kuda hingga kudanya roboh karena kelelahan di gerbang. Ia berlari terhuyung-huyung memasuki balai penghadapan, pakaiannya robek dan wajahnya pucat pasi karena kengerian yang baru saja ia saksikan.
“Ampun, Paduka Sultan!” serunya, napasnya tersengal-sengal saat ia jatuh berlutut di hadapan takhta. “Desa-desa … desa-desa nelayan di sekitar Barombong … hancur!”
Sultan Hasanuddin mencondongkan tubuhnya, wajahnya yang keras menegang. “Apa maksudmu hancur? Apakah Kompeni menyerang benteng?”
“Tidak, Paduka,” isak prajurit itu. “Lebih buruk. Jauh lebih buruk.”