Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir

Kingdenie
Chapter #9

Dua Sisi Mata Uang

Pengakuan bahwa musuh dari masa depan kini berjalan di antara mereka tidak membawa kepanikan ke dalam ruang arsip yang sunyi itu. Sebaliknya, ia membawa sebuah kejernihan yang dingin dan menakutkan. Seluruh strategi pertahanan yang telah mereka rancang, penyergapan di laut, pertahanan benteng, perang gerilya kini terasa tidak memadai, seperti mencoba menahan tsunami dengan dinding pasir. Mereka telah mempersiapkan diri untuk melawan pedang dan meriam, namun kini mereka sadar bahwa senjata musuh yang sesungguhnya jauh lebih tua dan lebih tajam: sejarah itu sendiri.

Dirgantara berdiri di tengah labirin pengetahuan itu, dikelilingi oleh ribuan gulungan lontar yang menyimpan gema dari abad-abad yang telah berlalu. Udara di ruangan itu terasa berat oleh aroma kertas tua, tinta cumi, dan keabadian. Di sini, di dalam domain kekuasaan Daeng Ratu, ia merasa seperti seorang murid yang akan memulai pelajarannya yang paling sulit.

“Untuk mengalahkan seekor ular,” kata Dirgantara pada perempuan cerdas itu, suaranya pelan, nyaris seperti bisikan di keheningan ruangan. “Kita harus tahu di mana ia menyembunyikan sarangnya dan jenis racun apa yang ia miliki. Kaelan menggunakan perseteruan antara Gowa dan Bone sebagai racunnya. Aku harus memahami racun itu, Daeng. Bukan dari catatan pengetahuanku, tapi darimu. Ceritakan padaku kisah yang sesungguhnya.”

Daeng Ratu menatapnya dengan pandangan yang dalam. Ia menarik sebuah kursi kayu berukir, mempersilakan Dirgantara duduk di hadapan sebuah meja besar yang kosong. Ini tidak akan menjadi pelajaran sejarah yang singkat. Ini akan menjadi sebuah pengungkapan jiwa dari sebuah bangsa.

“Sejarah tidak pernah sesederhana yang tertulis di atas lontar, Tuan Penasihat,” mulai Daeng Ratu, suaranya lembut namun sarat akan beban. “Sejarah adalah gema dari rasa sakit, kebanggaan, dan dendam yang diwariskan dari ayah ke anak, seperti sebilah keris pusaka yang bilahnya semakin tajam setiap kali diasah oleh air mata.”

Selama berjam-jam, ia menuturkan kisah itu. Bukan sebagai seorang arsiparis yang membacakan fakta, melainkan sebagai seorang pau-pau, seorang pendongeng yang merasakan setiap denyut nadi dari cerita yang ia sampaikan. Ia menceritakan tentang masa-masa awal, saat kerajaan-kerajaan Bugis di Bone dan kerajaan Makassar di Gowa adalah dua kekuatan yang setara, dua saudara yang sering kali bersaing namun tetap saling menghormati. Ia melukiskan gambaran tentang para pelaut dari kedua bangsa yang berlayar bersama, berbagi risiko di lautan ganas dan berbagi keuntungan di pelabuhan-pelabuhan asing.

Lalu, ia menceritakan tentang kebangkitan Gowa menjadi kekuatan dominan di bawah sultan-sultan yang ambisius. Gowa, dengan pelabuhannya yang strategis, tumbuh lebih cepat. Perlahan-lahan, persaingan itu berubah menjadi penaklukan. Ia tidak menyembunyikan kebenaran yang pahit. Ia menceritakan bagaimana Gowa, dalam usahanya untuk menyatukan seluruh Sulawesi Selatan di bawah panjinya, telah memaksa kerajaan-kerajaan Bugis yang lebih kecil untuk tunduk, termasuk Bone.

“Kami, orang-orang Gowa, menyebutnya penyatuan,” kata Daeng Ratu, matanya menerawang. “Kami percaya bahwa hanya dengan satu kekuatan besar, tanah ini bisa aman dari ancaman luar. Kami membangun benteng-benteng megah, kami memperkuat armada, dan kami memaksa semua orang untuk berlindung di bawah panji-panji kami. Tapi bagi mereka yang dipaksa berlindung, terkadang payung itu terasa seperti sangkar.”

Ia lalu sampai pada kisah Arung Palakka. Ia melukiskannya bukan sebagai seorang pengkhianat seperti yang sering diteriakkan oleh para panglima Gowa di dewan perang. Ia melukiskannya sebagai seorang pangeran muda dari Bone yang harus tumbuh dewasa dalam bayang-bayang kekalahan. Ia menceritakan bagaimana Arung Palakka, saat masih kanak-kanak, harus menyaksikan ayahnya, penguasa Bone, membungkuk hormat di hadapan Sultan Gowa. Ia melukiskan gambaran tentang para bangsawan Bugis yang dipaksa bekerja membangun tembok-tembok Somba Opu, sebuah penghinaan yang menggoreskan luka yang dalam di harga diri mereka.

“Dia adalah pahlawan bagi rakyatnya, Tuan Penasihat,” bisik Daeng Ratu. “Seorang pahlawan tragis yang terpaksa membuat perjanjian dengan iblis bernama Kompeni untuk mengalahkan monster lain yang lebih besar di mata mereka: kita.”

Lihat selengkapnya