Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir

Kingdenie
Chapter #10

Gema dari Dua Zaman

Malam telah larut di Somba Opu, namun di dalam ruang arsip istana yang remang-remang, waktu seolah berhenti. Di bawah cahaya beberapa lampu minyak yang berkedip-kedip, Dirgantara dan Daeng Ratu masih membungkuk di atas sebuah peta Sulawesi Selatan yang terbentang luas. Udara dipenuhi oleh aroma lontar kuno dan keheningan yang sarat akan konsentrasi. Mereka tidak lagi hanya merancang pertahanan; mereka sedang mencoba merajut ulang benang takdir yang kusut, merencanakan sebuah diplomasi rahasia yang mustahil di tengah-tengah perang yang membara.

Mereka berdebat tentang suku-suku mana di pedalaman Bone yang mungkin masih menyimpan simpati pada Gowa. Mereka menelusuri silsilah para bangsawan Bugis, mencari celah, mencari keretakan dalam aliansi mereka dengan Arung Palakka dan VOC. Ini adalah permainan catur yang bidak-bidaknya adalah nyawa dan kerajaannya adalah kehormatan.

Dirgantara, yang pikirannya sedang memproses ratusan variabel dari jalur-jalur rahasia di pegunungan, tanpa sadar menggerakkan tangannya. Jari-jarinya menelusuri sebuah garis di peta yang mewakili rute berbahaya, lalu tangannya turun dan berdiam sejenak di atas gagang Kujang Pusaka Naga yang terselip di pinggangnya. Itu adalah sebuah gerakan kecil yang tak disengaja, sebuah refleks dari jiwa yang mencari jangkar di tengah lautan ketidakpastian.

Namun, tidak ada gerakan sekecil apa pun yang luput dari mata Daeng Ratu.

Ia berhenti berbicara. Keheningan di antara mereka kini terasa berbeda, tidak lagi diisi oleh strategi, melainkan oleh rasa ingin tahu yang lembut. “Senjata itu,” katanya pelan, suaranya memecah keheningan. “Aku sudah sering melihatmu menyentuhnya saat kau sedang berpikir keras. Bentuknya aneh, tidak seperti badik Makassar atau keris Jawa. Bilahnya seperti bulan sabit yang haus, namun gagangnya diukir dengan keindahan seekor naga.”

Ia menatap Dirgantara, matanya yang jeli kini tidak lagi menatap sebagai seorang ahli arsip, melainkan sebagai seorang perempuan yang mencoba memahami lelaki di hadapannya. “Ia tampak penuh dengan kekuatan, tapi juga kesedihan. Apa ceritanya, Tuan Penasihat?”

Pertanyaan itu begitu personal, begitu langsung, hingga Dirgantara merasa seolah Daeng Ratu baru saja menanyakan cerita tentang salah satu bekas luka di hatinya. Ia terdiam sejenak, tatapannya jatuh pada pusaka di pinggangnya. Pertanyaan itu membuka sebuah pintu di dalam benaknya, sebuah pintu menuju koridor waktu yang lain, menuju taman yang diterangi cahaya bulan di Trowulan.

Ia menghunus kujang itu perlahan lalu meletakkannya dengan hati-hati di atas peta Sulawesi. Bilah dari abad ke-14 itu kini terbaring di atas gambaran abad ke-17, sebuah anomali yang nyata.

“Ini adalah pusaka dari seorang kawan … di sebuah kerajaan di barat,” mulai Dirgantara, suaranya terdengar jauh. “Ia adalah seorang komandan pengawal. Perempuan terkuat dan paling teguh pendirian yang pernah kutemui.”

Saat ia berbicara, narasinya untuk Daeng Ratu hanyalah permukaan. Di dalam benaknya, ia kembali ke malam itu. Ia melihat wajah Ratna Laras dengan begitu jelas, ketegasannya yang mulai melunak, kerapuhannya yang terungkap, dan matanya yang berkaca-kaca saat ia menjelaskan filosofi senjatanya.

“Perempun ini mengajariku bahwa naga bukanlah simbol dari kehancuran,” lanjut Dirgantara, suaranya kini lebih lembut, seolah ia sedang berbicara pada ingatan itu sendiri. “Naga adalah penjaga keseimbangan. Ia tidak datang untuk membakar dunia, melainkan untuk memastikan api kehidupan tidak padam dan airnya tidak meluap menjadi banjir. Senjata ini … seharusnya hanya terhunus untuk mengembalikan keseimbangan.” Ia menyentuh gagang naga itu. “Sebuah pelajaran yang mahal.”

Lihat selengkapnya