Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir

Kingdenie
Chapter #11

Retak di Dinding Benteng

Malam-malam berikutnya di ruang arsip Istana Tamalate adalah malam-malam yang penuh dengan energi intelektual yang membara. Di bawah cahaya lampu minyak yang hangat, Dirgantara dan Daeng Ratu bekerja tanpa lelah, mengubah harapan mustahil mereka untuk menghubungi Arung Palakka menjadi sebuah rencana yang bisa dieksekusi. Ruangan yang tadinya hanya menjadi tempat penyimpanan gema masa lalu kini telah berubah menjadi jantung dari sebuah konspirasi balasan, sebuah pusat saraf di mana perang sesungguhnya untuk jiwa Nusantara sedang dirancang.

Mereka menelusuri silsilah-silsilah kuno, mencari nama-nama yang memiliki ikatan darah atau sumpah utang budi dengan bangsawan Bone sekaligus Gowa. Mereka mempelajari adat istiadat Bugis, mencoba memahami jalur-jalur kehormatan yang bisa ditempuh untuk membuka sebuah dialog tanpa dianggap sebagai penghinaan. Dirgantara menyediakan perspektif strategisnya yang luas, memprediksi bagaimana Kaelan mungkin akan bereaksi terhadap setiap langkah mereka, sementara Daeng Ratu memberikan pemahamannya yang mendalam tentang hati dan pikiran bangsanya sendiri.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Dirgantara merasakan sesuatu yang mendekati harapan. Di dalam aliansi intelektualnya dengan Daeng Ratu, ia menemukan sebuah harmoni yang langka. Mereka adalah dua pikiran dari dua zaman yang berbeda, namun saat disatukan, mereka mampu menciptakan strategi yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Ia mulai percaya bahwa mereka mungkin benar-benar memiliki kesempatan.

Namun, di dunia yang Dirgantara tinggali, harapan adalah sebuah kemewahan yang fana.

Ketenangan mereka hancur pada suatu sore yang mendung, saat salah satu mata-mata terbaik Daeng Ratu dari jaringan internal istana meminta pertemuan darurat. Ia adalah seorang pelayan perempuan tua yang pendiam bernama I Manci, yang telinganya lebih tajam dari bilah badik mana pun.

Mereka bertemu di sebuah sudut tersembunyi di taman istana. Wajah I Manci, yang biasanya tenang, kini tampak gelisah.

“Ada bisikan-bisikan beracun yang menyebar di kalangan dewan, Daeng,” lapornya dengan suara pelan, matanya bergerak waspada. “Dan bisikan itu tidak datang dari luar tembok.”

Daeng Ratu mencondongkan tubuhnya, wajahnya menegang. “Bisikan apa?”

“Beberapa bangsawan mulai mempertanyakan kebijakan perang Paduka Sultan,” lanjut I Manci. “Mereka mulai menyebarkan desas-desus. Mereka bilang, Sultan terlalu banyak mendengar nasihat dari seorang sihireng asing.” Ia melirik sekilas ke arah Dirgantara. “Mereka bilang, kemenangan di Panakkukang memakan terlalu banyak korban jiwa, dan perang ini hanya akan membuat rakyat Gowa kelaparan. Mereka bilang, mungkin berdamai dengan Kompeni adalah jalan yang lebih bijaksana.”

Dirgantara merasakan dingin menjalari tubuhnya. Ini adalah jejak Kaelan. Sebuah operasi psikologis klasik: ciptakan keraguan, sebarkan disinformasi, pecah belah musuh dari dalam.

“Siapa?” tanya Daeng Ratu, suaranya dingin. “Sebutkan namanya.”

I Manci ragu sejenak. “Karaeng Sumanna,” bisiknya akhirnya. “Seorang bangsawan dari wilayah pesisir Takalar. Ia yang bersuara paling keras di pertemuan-pertemuan rahasia mereka.”

Lihat selengkapnya