Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir

Kingdenie
Chapter #12

Jebakan Sang Penasihat

Hari-hari setelah Karaeng Sumanna menelan umpan itu adalah sebuah pelajaran tentang kesabaran dan perang urat syaraf. Di permukaan, tidak ada yang berubah. Dewan perang tetap bertemu, membahas patroli-patroli rutin dan pertahanan benteng yang monoton.

Karaeng Sumanna duduk di antara mereka, wajahnya menunjukkan ketenangan seorang bangsawan, namun Dirgantara, dengan pengamatannya yang tertajam, bisa melihat detail-detail kecil: jemarinya yang sesekali mengetuk meja tanpa sadar, matanya yang melirik terlalu sering ke arah pintu, seolah menunggu sebuah pesan. Ia adalah seorang lelaki yang sedang duduk di atas rahasia yang membara, dan panasnya mulai membuatnya gelisah.

Di dalam ruang arsip, Dirgantara dan Daeng Ratu bekerja dalam keheningan yang tegang. Setiap hari, jaringan mata-mata Daeng Ratu yang tersebar di seluruh kota dan pesisir mengirimkan laporan. Mereka mengawasi setiap pergerakan Karaeng Sumanna, setiap perahu nelayan yang mendekati wilayahnya di malam hari, setiap bisikan aneh di pasar.

“Dia gelisah,” lapor Daeng Ratu pada hari keempat. “Salah satu pelayan perempuannya adalah mata-mataku. Ia bilang tuannya sering mondar-mandir di kamarnya pada malam hari, berbicara pada dirinya sendiri.”

“Dia sedang menimbang bahayanya,” kata Dirgantara. “Antara hadiah emas dari Kompeni dan ancaman pedang Sultan. Ia sedang menunggu saat yang tepat untuk mengirimkan pesan.”

Dirgantara tahu mereka tidak bisa menunggu selamanya. Mereka harus memaksanya bergerak. “Sudah saatnya kita memberikan babak kedua dari sandiwara kita,” katanya pada Daeng Ratu.

Keesokan harinya, atas saran Daeng Ratu, Sultan Hasanuddin mengumumkan secara terbuka bahwa sebuah armada kecil akan dikirim untuk “memperkuat pertahanan” di Buton. Kabar ini sengaja disebarkan di seluruh istana. Itu adalah dorongan terakhir yang dibutuhkan oleh Karaeng Sumanna. Dengan adanya pergerakan pasukan yang nyata, informasinya kini menjadi sangat berharga bagi VOC.

Malam itu juga, laporan yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Seorang pengintai Orang Laut melihat sebuah perahu sampan kecil meninggalkan teluk pribadi Karaeng Sumanna di tengah kegelapan, berlayar cepat ke arah armada VOC yang sedang berlabuh jauh di lautan lepas. Umpan telah dimakan. Pesan palsu itu kini sedang dalam perjalanan.

Dua hari kemudian, buah dari rencana mereka mulai terlihat. Jaringan pengintai mereka melaporkan sebuah pergerakan besar. Sekitar sepertiga dari seluruh armada blokade VOC, termasuk beberapa kapal perang terbesar mereka, telah mengangkat sauh dan berlayar dengan kecepatan penuh ke arah timur, ke arah Buton. Mereka telah mengerahkan kekuatan yang signifikan untuk menyergap armada Gowa yang sesungguhnya tidak pernah ada.

Di ruang dewan perang, saat kabar ini diumumkan, para panglima yang tidak mengetahui rencana rahasia itu menjadi panik.

“Mereka menuju Buton! Rencana Tuan Penasihat telah bocor!” teriak salah satu dari mereka.

Namun Sultan Hasanuddin hanya duduk diam di singgasananya, sebuah senyum tipis yang dingin tersungging di bibirnya. Ia menatap Dirgantara. “Jaringnya telah ditebar, Tuan Penasihat. Sekarang, apakah ikan-ikan yang tersisa sudah cukup matang untuk dipanen?”

“Lebih dari cukup, Paduka Sultan,” jawab Dirgantara dengan tenang. “Armada mereka yang tersisa kini telah kehilangan sepertiga kekuatannya. Mereka angkuh dan tidak menduga adanya serangan. Inilah saat yang paling tepat untuk menyerang.”

Para panglima menatapnya dengan bingung. Menyerang? Dengan apa? Melawan mereka di lautan terbuka masih merupakan bunuh diri.

“Kita tidak akan menyerang mereka di laut,” jelas Dirgantara. “Kita akan menyerang mereka dari darat.”

Ia membentangkan sebuah peta besar dari Benteng Somba Opu dan perairan di sekitarnya. “Selama ini, kita dan musuh kita selalu berpikir dalam kerangka yang sama: perang laut adalah duel antar kapal. Tapi kita melupakan satu hal.” Ia menepuk gambar benteng di peta itu. “Kita memiliki benteng artileri terkuat di seluruh Nusantara. Kita memiliki meriam-meriam raksasa yang selama ini hanya kita gunakan untuk menakut-nakuti kapal yang mendekat terlalu dekat.”

“Meriam kita tidak bisa menjangkau mereka,” sanggah Karaeng Patingalloang. “Armada Kompeni berlabuh di luar jangkauan tembak kita. Mereka tahu persis batasan kita.”

Lihat selengkapnya