Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir

Kingdenie
Chapter #13

Hantu-Hantu di Pedalaman

Kemenangan artileri di hadapan tembok Somba Opu mengirimkan gelombang kejut yang dahsyat ke seluruh front peperangan. Armada VOC yang tadinya berlabuh dengan angkuh kini terpukul mundur, menjilat luka mereka di sebuah pulau terpencil, menunggu sisa armada mereka kembali dari perburuan sia-sia di Buton. Untuk sementara waktu, ancaman dari lautan telah reda. Di dalam kota benteng, perayaan berlangsung selama tiga hari tiga malam. Rakyat Makassar berpesta, memuji nama Sultan Hasanuddin, Daeng Ratu, dan sang penasihat asing misterius yang meriamnya konon bisa berbicara dengan para dewa.

Namun, di dalam ruang perang Istana Tamalate yang sunyi, tidak ada perayaan. Peta laut yang tadinya menjadi pusat perhatian kini telah digulung, digantikan oleh sebuah peta daratan Sulawesi Selatan yang detail. Di atasnya, puluhan panji-panji kecil berwarna merah, mewakili pasukan Bugis Bone di bawah komando Arung Palakka tampak seperti semut-semut api yang perlahan-lahan merayap, mengepung benteng dari segala arah.

Dirgantara berdiri di hadapan peta itu bersama Daeng Ratu dan Sultan Hasanuddin. Wajah mereka muram. Kemenangan di laut memang gemilang, namun di darat, mereka sedang perlahan-lahan dicekik.

“Laporan-laporan terus berdatangan,” kata Daeng Ratu, suaranya tenang namun sarat akan kekhawatiran. Ia menunjuk beberapa desa yang ditandai dengan arang hitam di peta. “Serangan seperti di Barombong terus berlanjut. Mereka tidak lagi menyerang benteng kita secara langsung. Mereka menyerang lumbung padi kita, jalur-jalur sungai yang membawa pasokan, dan desa-desa yang setia pada Gowa. Mereka seperti wabah belalang, memakan habis semua yang hijau, meninggalkan tanah yang tandus di belakang mereka.”

“Arung Palakka …” desis Sultan Hasanuddin, tangannya terkepal di atas gagang pedangnya. “Dia bertarung seperti seekor anjing liar, menggigit tumit kita dari belakang. Bukan cara seorang ksatria.”

“Dia tidak bertarung sendiri, Paduka,” kata Dirgantara pelan. “Di belakangnya ada Kaelan, sang pembelot. Ia yang mengajarkan Arung Palakka cara bertarung seperti ini. Ini adalah strategi Lembaga: jangan hancurkan bentengnya, hancurkan fondasinya. Buat ia kelaparan hingga akhirnya menyerah tanpa perlu satu tembakan meriam pun.”

Di dewan perang yang diadakan sore itu, para panglima yang tadinya memuji Dirgantara kini kembali menunjukkan sifat asli mereka. Dihadapkan pada ancaman darat, solusi mereka hanya satu: pertempuran terbuka.

“Kita memiliki dua puluh ribu prajurit di dalam tembok ini!” seru Karaeng Patingalloang, semangatnya kembali menyala. “Keluarkan mereka semua! Kita hadapi Arung Palakka di lapangan terbuka, seperti lelaki! Hancurkan pasukan pengkhianat itu dalam satu pertempuran agung yang akan dikenang selamanya!”

Para panglima lain bersorak setuju. Mereka adalah prajurit-prajurit pemberani yang merindukan denting pedang dan pekikan perang. Gagasan tentang bersembunyi di balik tembok sementara musuh merajalela di pedalaman adalah sebuah penghinaan bagi mereka.

Dirgantara memejamkan matanya sejenak, membayangkan skenario itu. Dua puluh ribu prajurit Gowa yang gagah berani, berbaris di lapangan terbuka, berhadapan dengan pasukan Bugis yang sama beraninya, namun didukung oleh barisan-barisan musketir VOC yang disiplin dan taktik presisi dari Kaelan. Itu tidak akan menjadi pertempuran agung. Itu akan menjadi sebuah ladang pembantaian.

“Tidak,” kata Dirgantara, suaranya memecah euforia di ruangan itu. Semua mata menoleh padanya.

Lihat selengkapnya