Kegelapan di dalam hutan belantara Sulawesi terasa berbeda dari kegelapan mana pun yang pernah Dirgantara kenal. Ini bukanlah kegelapan yang hampa, melainkan kegelapan yang hidup. Ia dipenuhi oleh suara-suara aneh: desah angin yang melewati jutaan daun, pekikan binatang malam yang tak dikenal, dan gemerisik tak henti dari kehidupan tak terlihat yang bergerak di lantai hutan. Udara terasa berat dan lembab, penuh dengan aroma tanah basah, bunga-bunga liar yang mekar di malam hari, dan jejak samar dari binatang buas.
Selama tiga hari, unit gerilya yang baru dibentuk itu bergerak menembus neraka hijau ini. Mereka adalah “Pasukan Bayangan Darat”, sebuah nama yang mereka berikan sendiri dengan bangga. Di bawah komando Daeng Awing yang berpengalaman, mereka bergerak bukan seperti prajurit, melainkan seperti sekawanan serigala. Mereka berjalan tanpa suara, berkomunikasi dengan siulan burung yang telah disepakati, dan beristirahat bukan saat lelah, melainkan saat posisi mereka paling aman dan tersembunyi.
Dirgantara, yang berjalan di antara mereka, merasakan kekaguman yang mendalam. Para lelaki ini, campuran antara pelaut Makassar yang keras, para pemburu dari suku pedalaman yang matanya setajam elang, dan beberapa prajurit muda Gowa yang pemberani adalah perwujudan dari kemampuan bertahan hidup. Mereka membaca hutan seperti sebuah kitab terbuka, mengetahui jejak mana yang harus diikuti dan mata air mana yang aman untuk diminum. Ia mungkin sang penasihat, sang otak, namun di sini, di dalam kerajaan alam ini, ia adalah seorang murid.
Target pertama mereka adalah sebuah pos pasokan VOC yang terpencil, yang berfungsi sebagai titik transit untuk mengirimkan mesiu dan bahan makanan kepada salah satu pasukan Arung Palakka. Berdasarkan informasi dari Daeng Ratu, sebuah konvoi besar akan tiba di pos itu dalam dua hari. Rencana mereka adalah menyergap konvoi itu di sebuah lembah sempit yang diapit oleh tebing-tebing curam.
Malam sebelum penyergapan, suasana di perkemahan darurat mereka terasa tegang. Tidak ada api unggun, hanya keheningan dan cahaya bintang yang menembus sela-sela kanopi. Daeng Awing duduk di samping Dirgantara, membersihkan bilah badiknya dengan sepotong kain.
“Anak-anak buahku siap,” bisik kapten tua itu. “Mereka haus akan pembalasan setelah apa yang terjadi di desa-desa nelayan.”
“Rasa haus itu bisa menjadi kekuatan, atau bisa menjadi racun,” balas Dirgantara pelan. “Pastikan mereka menyerang dengan pikiran yang dingin, bukan dengan hati yang terbakar. Ketepatan adalah kunci kemenangan kita besok, bukan amukan.”
Daeng Awing menatapnya, sebuah senyum tipis tersungging di wajahnya yang keras. “Kau berbicara seperti seorang panglima yang telah melewati seratus pertempuran, Tuan Cendekiawan.”
Penyergapan itu dilancarkan saat fajar menyingsing, di tengah kabut pagi yang tebal. Pasukan Bayangan Darat telah mempersiapkan jebakan mereka dengan sempurna. Pohon-pohon besar telah digergaji sebagian, siap untuk ditumbangkan dan memblokir jalan keluar lembah. Di atas tebing, para pemanah dan penembak senapan sundut telah mengambil posisi.
Saat konvoi VOC, terdiri dari beberapa pedati yang ditarik kerbau dan dikawal oleh sekitar enam puluh prajurit Bugis dan dua puluh musketir VOC memasuki bagian tersempit dari lembah, sinyal itu diberikan. Sebuah siulan panjang yang meniru suara burung elang.