Perjalanan kembali Pasukan Bayangan Darat ke Somba Opu adalah sebuah arak-arakan duka yang sunyi. Mereka tidak lagi bergerak dengan kelincahan serigala yang bangga atas kemenangannya; mereka kini berjalan dengan langkah berat para lelaki yang telah dikalahkan, bukan oleh pedang, melainkan oleh asap dan abu.
Kabar tentang lumbung-lumbung padi yang terbakar telah menyebar mendahului mereka, dibawa oleh para pengungsi dari desa-desa yang hancur. Euforia kemenangan artileri yang pernah menggema di seluruh Makassar kini telah lenyap, digantikan oleh bisik-bisik ketakutan akan bencana kelaparan yang akan datang.
Dirgantara berjalan di antara mereka, setiap langkah terasa seperti menginjak bara api rasa bersalah. Ia, sang ahli strategi dari masa depan, telah diperdaya. Ia terlalu fokus pada permainan catur militernya sendiri, menyerang konvoi, merebut mesiu hingga ia lupa bahwa lawannya.
Kaelan, memainkan permainan yang jauh lebih besar dan lebih kejam. Ia tidak hanya ingin memenangkan perang; ia ingin menghancurkan jiwa lawannya, membuat mereka saling membenci, dan membiarkan mereka mati kelaparan di atas puing--puing kemenangan kecil mereka.
Saat mereka akhirnya tiba di gerbang Somba Opu, tidak ada sambutan pahlawan. Para penjaga menatap mereka dengan pandangan yang sulit diartikan, campuran antara simpati dan kekecewaan. Daeng Awing, sang nakhoda tua yang beberapa hari lalu berjalan dengan dada membusung, kini tampak seperti seorang lelaki yang telah kehilangan kapalnya di tengah badai. Ia berjalan lurus menuju istana untuk melaporkan kegagalan mereka, wajahnya sekeras batu.
Di dewan perang yang diadakan sore itu, suasananya terasa dingin seperti di dasar laut. Asap dari lumbung-lumbung yang masih membara di kejauhan seolah merayap masuk ke dalam ruangan, membawa serta bau kekalahan.
“Strategi hantumu telah gagal, Tuan Penasihat!” kata Karaeng Patingalloang, suaranya tidak lagi marah, melainkan terdengar lelah dan putus asa. “Sementara kita bermain petak umpet di hutan, musuh telah membakar dapur kita. Rakyat akan kelaparan. Prajurit tidak bisa berperang dengan perut kosong.”
Dirgantara tidak membantah. Ia hanya berdiri di hadapan peta, menatap hamparan wilayah Gowa yang kini ditandai oleh lusinan titik hitam. “Anda benar, Karaeng,” katanya pelan, sebuah pengakuan yang mengejutkan semua orang. “Aku telah meremehkan musuh. Aku terlalu fokus pada cara mereka bertarung, hingga aku lupa pada mengapa mereka bertarung. Aku salah.”
Pengakuan yang jujur dan tanpa dalih itu meredam amarah di ruangan itu, digantikan oleh kesuraman yang kolektif. Sultan Hasanuddin, yang sejak tadi duduk diam di singgasananya, akhirnya angkat bicara.
“Kesalahan telah dibuat,” katanya, suaranya tenang namun berat. “Meratapinya adalah sebuah kemewahan yang tidak kita miliki. Apa langkah kita selanjutnya, Tuan Dirgantara? Apakah kau masih memiliki ‘dongeng’ lain untuk kami?”
Dirgantara menatap sang Sultan, lalu ke Daeng Ratu yang sejak tadi menatapnya dengan pandangan yang penuh dukungan. “Masih ada, Paduka Sultan,” jawabnya. “Tapi ini bukan lagi dongeng tentang strategi perang. Ini adalah dongeng tentang hati seorang pangeran.”
Malam itu, di dalam keheningan ruang arsip, Dirgantara dan Daeng Ratu memulai fase berikutnya dari perang mereka. Fase yang paling berbahaya dan paling tidak pasti.
“Kaelan tidak akan berhenti,” kata Dirgantara. “Ia telah menemukan senjata terkuatnya: Arung Palakka. Ia menggunakan dendam sang pangeran sebagai bahan bakar untuk membakar Gowa. Selama Arung Palakka percaya bahwa Kompeni adalah sekutu sejatinya, ia akan terus menjadi ujung tombak mereka yang paling mematikan. Kita tidak bisa mengalahkannya di medan perang, karena prajuritnya bertarung dengan api keyakinan di dalam hati mereka.”
“Lalu?” tanya Daeng Ratu.
“Maka kita harus memadamkan api itu,” jawab Dirgantara. “Kita harus menunjukkan pada Arung Palakka bahwa ia tidak sedang memerdekakan rakyatnya, melainkan hanya sedang mengganti satu tuan dengan tuan lain yang lebih kejam. Kita harus menunjukkan padanya wajah asli dari sekutunya.”