Keheningan di dalam ruang arsip setelah penemuan itu terasa berat dan menyesakkan, seolah udara di dalam ruangan itu sendiri telah berubah menjadi timah. Di atas meja kayu yang diterangi oleh cahaya lampu minyak yang berkedip-kedip, tergeletak segulung lontar tipis. Benda itu tampak begitu sederhana, begitu rapuh. Namun, di atasnya terukir sebuah kebenaran yang begitu beracun, sebuah pengkhianatan yang begitu dingin, hingga ia memiliki kekuatan untuk meruntuhkan aliansi, menghentikan perang, atau justru membunuh mereka semua.
Dirgantara menatap lontar itu, pikirannya berpacu. Di dalam benaknya, implannya memproses ribuan skenario, ribuan probabilitas, namun semuanya berujung pada kesimpulan yang sama: mereka memegang sebuah petir di dalam botol, dan membuka botol itu di saat yang salah akan menyetrum mereka hingga hangus.
“Kita harus menunjukkannya pada Arung Palakka,” ulang Dirgantara, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Daeng Ratu, yang sejak tadi duduk mematung, akhirnya mengangkat kepalanya. Wajahnya yang biasanya tenang dan penuh perhitungan kini tampak pucat dan lelah. Ia baru saja membaca bukti nyata dari manipulasi yang dilakukan oleh kekuatan asing terhadap bangsanya sendiri, sebuah luka yang terasa begitu personal.
“Menunjukkan ini padanya?” bisiknya, suaranya serak. “Dirgantara, apakah kau sadar apa yang kau minta? Perkemahan Arung Palakka berada jauh sekali dari sini, melewati hutan-hutan yang dikuasai oleh pasukannya yang paling fanatik. Mengirim seorang utusan Gowa ke sana sama saja dengan mengirim seekor domba ke kandang serigala dengan kalungan bunga di lehernya. Utusan itu akan dibunuh bahkan sebelum ia sempat membuka mulutnya.”
“Lalu apa pilihan kita, Daeng?” balas Dirgantara, frustrasi mulai merayap dalam suaranya. “Membiarkan Arung Palakka, atas perintah Kaelan, membantai para perempuan dan anak-anak kita di Camba? Membiarkan kebencian di antara kita menjadi begitu dalam hingga tak akan pernah bisa disembuhkan lagi?”
“Tentu saja tidak!” sahut Daeng Ratu, matanya berkilat marah. “Tapi kita harus terdengar masuk akal. Sultan Hasanuddin tidak akan pernah menyetujui misi ini. Baginya, Arung Palakka adalah pengkhianat. Mengirim pesan padanya, apalagi pesan yang bisa dianggap sebagai ‘tawaran damai’, akan dilihat sebagai tanda kelemahan, atau bahkan pengkhianatan dari pihak kita sendiri. Sultan lebih baik melihat kita semua mati dalam pertempuran terhormat daripada harus ‘merendahkan diri’ di hadapan musuh bebuyutannya.”
Mereka terdiam, terperangkap dalam sangkar logika yang kejam. Mereka memiliki kunci untuk mungkin mengakhiri perang, namun kunci itu terkunci di dalam sebuah peti yang tak bisa mereka buka. Mereka tidak bisa bertindak dengan restu Sultan, dan bertindak tanpanya berarti menjadi pengkhianat di mata istana mereka sendiri.
Dirgantara berjalan mondar-mandir di ruangan itu, pikirannya kembali ke Trowulan. Ia teringat bagaimana ia menyelipkan sebuah syair ke tangan Hayam Wuruk, sebuah pesan tersembunyi yang berhasil menanamkan keraguan. Tapi Hayam Wuruk adalah seorang raja muda yang puitis dan belum teruji. Sultan Hasanuddin adalah seekor singa perang yang ditempa oleh pertempuran dan pengkhianatan. Ia tidak akan tergerak oleh syair. Ia hanya percaya pada baja.
“Kalau begitu, kita tidak akan meminta izinnya,” kata Dirgantara pelan, sebuah keputusan berbahaya terbentuk di benaknya.
Daeng Ratu menatapnya dengan kaget. “Bertindak di belakang Sultan? Itu adalah pemberontakan, Dirgantara. Hukuman untuk itu adalah pancung.”
“Dan hukuman untuk tidak melakukan apa-apa adalah kehancuran Gowa,” balas Dirgantara. Ia berhenti dan menatap lurus ke mata perempuan itu. “Dengarkan aku, Daeng. Kaelan, lawanku dari masa depan itu, ia berpikir secara logis dan dingin. Ia mengharapkan kita untuk bereaksi dengan cara yang bisa ia prediksi. Ia mengharapkan Sultan untuk marah. Ia mengira kita akan memperkuat pertahanan di Camba, yang justru akan membenarkan kabar bisikan yang sampai ke telinga Arung Palakka. Ia mengharapkan kita untuk bertindak seperti bidak-bidak catur yang bisa ia tebak gerakannya. Satu-satunya cara untuk mengalahkannya adalah dengan melakukan sesuatu yang tidak pernah ada dalam perhitungannya. Sesuatu yang gila.”
Ia mencondongkan tubuhnya di atas meja, tatapannya intens. “Kita akan mengirimkan pesan ini. Tapi bukan sebagai sebuah permohonan dari Gowa. Melainkan sebagai sebuah peringatan dari sesama saudara yang sedang dimanfaatkan.”