Penantian adalah sebuah racun yang bekerja lambat. Setelah kafilah dagang Puang Matoa menghilang di tikungan jalan setapak, ditelan oleh hutan belantara yang sunyi, keheningan yang mencekam turun di atas Istana Tamalate. Setiap hari yang berlalu tanpa kabar terasa seperti satu tahun, setiap jam terasa seperti sebilah pisau yang perlahan-lahan mengiris saraf Dirgantara dan Daeng Ratu.
Mereka mencoba menyibukkan diri. Daeng Ratu mengubur dirinya di dalam ruang arsip, menata ulang gulungan-gulungan lontar yang sebenarnya sudah tertata sempurna, sebuah aktivitas sia-sia untuk menenangkan pikirannya yang bergejolak. Dirgantara menghabiskan waktunya di atas tembok benteng, membantu Daeng Rate dan para ahli meriamnya menyempurnakan tabel-tabel balistik mereka. Ia mencoba fokus pada matematika yang dingin dan logis, pada kepastian dari busur parabola sebuah peluru meriam, mencoba lari dari ketidakpastian nasib seorang pedagang tua yang serakah yang telah mereka kirim ke sarang serigala.
Namun, bayangan dari pertaruhan mereka selalu mengikuti. Setiap kali seorang kurir istana berlari di koridor, jantung mereka berdebar kencang. Setiap kali lonceng penjaga berdentang, mereka tersentak, mengira itu adalah kabar yang mereka tunggu. Kabar itu tidak pernah datang. Puang Matoa seolah telah lenyap ditelan bumi.
Di dewan perang, suasana semakin suram. Dampak dari lumbung-lumbung padi yang terbakar mulai terasa. Jatah beras untuk para prajurit mulai dikurangi. Di pasar-pasar, harga kebutuhan pokok melambung tinggi, dan bisik-bisik ketidakpuasan mulai terdengar di antara rakyat jelata. Sultan Hasanuddin, yang merasakan tekanan dari segala arah, menjadi semakin tidak sabar.
“Sudah seminggu!” raungnya dalam sebuah pertemuan, matanya yang tajam menatap Dirgantara dan Daeng Ratu. “Di mana hasil dari ‘perundingan rahasia’ kalian? Apakah kita hanya akan duduk di sini dan menunggu sampai kita semua mati kelaparan, sementara kalian berdua bermain dengan teka-teki dan utusan misterius?”
“Bersabarlah, Paduka Sultan,” jawab Daeng Ratu dengan tenang, meskipun tangannya yang tersembunyi di balik jubahnya terkepal erat. “Menanam benih membutuhkan waktu untuk tumbuh.”
“Aku khawatir benih yang kalian tanam itu sudah layu sebelum sempat bertunas,” balas Sultan dengan dingin.
Malam itu, saat Dirgantara dan Daeng Ratu duduk dalam keheningan yang berat di ruang arsip, keraguan mulai menggerogoti mereka.
“Mungkin kita salah,” bisik Daeng Ratu, suaranya nyaris tak terdengar. “Mungkin Arung Palakka tidak seperti yang kita duga. Mungkin ia hanya seorang pengkhianat yang haus darah, yang langsung membunuh Puang Matoa saat itu juga.”
“Tidak,” kata Dirgantara, mencoba meyakinkan dirinya sendiri sama seperti ia meyakinkan Daeng Ratu. “Arung Palakka adalah seorang pahlawan bagi kaumnya. Ia mungkin penuh dendam, tapi ia terikat oleh Siri’. Ia tidak akan membunuh seorang utusan dagang yang netral. Itu akan menodai kehormatannya.”
“Lalu di mana dia?” desak Daeng Ratu, suaranya bergetar. “Mengapa tidak ada kabar sama sekali?”
Saat itulah, seorang prajurit penjaga masuk dengan tergesa-gesa. “Daeng, Tuan Penasihat,” katanya. “Seorang pengintai dari Pasukan Bayangan Darat telah kembali dari pedalaman Bone. Ia membawa kabar.”
Jantung mereka serasa berhenti berdetak. Mereka segera bergegas ke ruang dewan perang, di mana pengintai itu, seorang lelaki kurus dari suku pedalaman yang mampu bergerak di hutan seperti bayangan sedang berlutut di hadapan Sultan.
“Apa yang kau lihat?” tanya Sultan Hasanuddin, nadanya mendesak.