Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir

Kingdenie
Chapter #18

Kepercayaan yang Retak

Kabar tentang nasib Puang Matoa jatuh di tengah dewan perang Istana Tamalate seperti sebongkah batu es, membekukan semua harapan yang baru saja mulai mekar. Laporan terakhir dari sang pengintai, tentang kemarahan Arung Palakka dan penghormatannya pada mayat sang utusan seharusnya menjadi secercah cahaya. Namun, cahaya itu terlalu redup, tertelan oleh kegelapan yang pekat dari kegagalan misi itu sendiri. Seorang lelaki tua yang netral dan seluruh pengawalnya telah dibantai. Sebuah misi rahasia yang dirancang untuk mencegah pertumpahan darah justru telah menumpahkan darah pertamanya.

Di dalam keheningan yang berat itu, Dirgantara bisa merasakan tatapan setiap orang di ruangan itu tertuju padanya. Bukan lagi tatapan penuh kekaguman seperti saat ia memenangkan pertempuran artileri. Ini adalah tatapan yang dingin, penuh dengan tuduhan dan kekecewaan. Ia dan Daeng Ratu, yang tadinya dielu-elukan sebagai arsitek harapan, kini adalah arsitek dari sebuah tragedi.

Sultan Hasanuddin duduk di singgasananya, diam seperti patung yang terbuat dari amarah yang membeku. Wajahnya yang biasanya tegas kini tampak lebih keras, setiap otot di rahangnya menegang. Ia tidak menatap Dirgantara. Ia menatap lurus ke depan, ke sebuah titik kosong di kejauhan, seolah sedang menyaksikan arwah Puang Matoa menuntut keadilan di hadapannya.

Karaeng Patingalloang adalah yang pertama memecah keheningan. Ia tidak berteriak. Suaranya justru terdengar pelan dan penuh dengan kepahitan yang dingin, yang terasa lebih menusuk daripada amarah yang meluap-luap.

“Sudah kukatakan sejak awal,” katanya, matanya yang tua menatap tajam ke arah Dirgantara. “Ini adalah hasilnya jika kita berperang dengan cara para pengecut. Dengan bisikan. Dengan tipu muslihat. Dengan mengirim seorang pedagang tua untuk melakukan pekerjaan seorang prajurit.”

Ia melangkah ke tengah ruangan, tatapannya kini menyapu seluruh dewan. “Darah telah tumpah. Bukan darah musuh di medan perang yang terhormat, melainkan darah seorang lelaki tak bersalah di sebuah penyergapan yang hina. Inikah kemenangan yang dijanjikan oleh sang penasihat asing ini? Kemenangan yang diraih dengan mengorbankan nyawa orang-orang kita dalam bayangan?”

Tidak ada yang menjawab. Kata-katanya menggema di ruangan itu, menjadi vonis bagi strategi Dirgantara dan Daeng Ratu.

Akhirnya, Sultan Hasanuddin bergerak. Ia bangkit dari singgasananya, bukan dengan energi seekor singa yang siap menerkam, melainkan dengan kelelahan seorang lelaki yang kepercayaannya telah dikhianati. Ia berjalan menuruni tangga takhtanya dan berhenti tepat di hadapan Dirgantara.

“Dongengmu telah membawa kematian, Tuan Penjaga Waktu,” kata Sultan, suaranya rendah namun bergetar karena amarah yang ditahan. Matanya yang hitam pekat kini tidak lagi menunjukkan kekaguman, hanya kekecewaan yang dingin. “Kau datang kemari, berbicara tentang keseimbangan, tentang strategi cerdas. Kau memintaku untuk menaruh nasib kerajaanku pada sebuah pesan rahasia yang dibawa oleh seorang pedagang serakah.”

Ia melangkah lebih dekat, hingga Dirgantara bisa merasakan panas dari amarahnya. “Dan apa hasilnya? Seorang lelaki yang baik, meskipun serakah, kini menjadi jasad tak bernyawa. Dan Arung Palakka? Ia mungkin marah pada Kompeni untuk sesaat. Tapi pada akhirnya, ia akan melihat ini sebagai bukti lain dari kelicikan Gowa. Kau tidak menanam benih perdamaian. Kau hanya telah menyiram pohon kebencian di antara kami dengan darah.”

Setiap kata terasa seperti sebuah tamparan bagi Dirgara. Di sampingnya, Daeng Ratu berdiri pucat pasi, bibirnya terkatup rapat, menahan beban tanggung jawab yang sama.

Lihat selengkapnya