Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir

Kingdenie
Chapter #19

Lautan Api di Cakrawala

Keheningan yang mengikuti keputusan Sultan Hasanuddin untuk berperang secara terbuka adalah keheningan yang paling menakutkan dari semuanya. Itu bukanlah keheningan yang damai, melainkan keheningan seekor binatang buas yang sedang menahan napas sesaat sebelum menerkam. Di dalam tembok Benteng Somba Opu, seluruh kota berubah menjadi sebuah mesin perang raksasa yang berdenyut dengan energi yang tegang dan fanatik.

Dari wisma tamunya yang kini kembali terasa seperti penjara, Dirgantara hanya bisa menonton dan menunggu. Perannya sebagai penasihat telah dicabut. Ia dan Daeng Ratu kini hanyalah penonton yang tak berdaya, terkurung di dalam sangkar emas mereka, sementara raja mereka berbaris menuju takdir yang telah mereka coba ubah dengan sia-sia. Setiap hari, ia mendengar pekikan para komandan yang melatih prajurit di lapangan, dentuman meriam-meriam yang sedang diuji coba, dan nyanyian-nyanyian perang yang menggema di seluruh kota saat malam tiba. Gowa sedang mempersiapkan dirinya untuk sebuah pertempuran agung, sebuah perayaan kematian yang terhormat.

Dirgantara menghabiskan hari-harinya bersama Daeng Ratu, bukan lagi di ruang arsip yang penuh harapan, melainkan di menara pengawas tertinggi di istana. Dari sana, mereka memiliki pemandangan yang sempurna ke lautan yang biru dan tenang di kejauhan. Mereka tidak banyak berbicara. Tidak ada lagi strategi untuk dirancang, tidak ada lagi diplomasi untuk direncanakan. Mereka hanyalah dua orang saksi yang sedang menunggu kedatangan badai.

“Mereka akan datang,” kata Daeng Ratu pada pagi hari kelima, suaranya pelan, nyaris hilang ditelan angin laut. “Aku bisa merasakannya.”

Dirgantara tidak menjawab. Ia juga merasakannya. Implannya mendeteksi perubahan-perubahan halus di atmosfer, getaran-getaran seismik mikro dari pergerakan ribuan orang di kejauhan, komunikasi radio frekuensi rendah yang dipancarkan oleh kapal-kapal VOC yang ia tidak tahu bagaimana cara menerjemahkannya. Udara terasa berat, sarat akan niat yang mematikan.

Dan kemudian, mereka melihatnya.

Awalnya, itu hanyalah sebuah titik kecil di cakrawala. Lalu titik itu menjadi dua, lalu sepuluh, lalu seratus. Dalam waktu kurang dari satu jam, seluruh cakrawala di utara telah berubah menjadi sebuah hutan tiang layar yang tak berujung.

Armada gabungan VOC dan pasukan Arung Palakka telah tiba. Dan pemandangan itu jauh lebih mengerikan daripada yang pernah Dirgantara bayangkan.

Di satu sisi, berlayar armada VOC. Kapal-kapal mereka adalah perwujudan dari tatanan dan kekuatan Eropa yang dingin. Kapal-kapal Galiot dan Fregat yang besar, lambungnya yang dicat hitam tampak mengancam, berbaris dalam formasi geometris yang sempurna. Layar-layar persegi mereka yang putih bersih berkibar serempak, dan puluhan moncong meriam perunggu berkilauan di setiap sisi, siap memuntahkan kematian yang terukur dan efisien. Di atas kapal komando utama, bendera Vereenigde Oostindische Compagnie berkibar dengan angkuh, sebuah simbol dari kekuatan korporat yang akan menaklukkan dunia.

Di sisi lain, mengapit armada VOC, adalah lautan perahu dari pasukan Arung Palakka. Jumlahnya ribuan. Kapal-kapal pinisi dan padewakang Bugis yang lincah, layarnya yang berwarna-warni tampak seperti kawanan kupu-kupu raksasa. Namun ini bukanlah kupu-kupu yang membawa keindahan. Di atas setiap geladak, ratusan prajurit Bugis berdiri, wajah mereka keras, badik dan tombak mereka berkilauan di bawah matahari. Mereka tidak berlayar dalam formasi yang disiplin seperti VOC. Mereka bergerak seperti kawanan serigala laut, sebuah kekacauan yang terorganisir, didorong oleh semangat balas dendam yang membara.

Lihat selengkapnya