Minggu kedua pengepungan adalah sebuah simfoni neraka yang tak berkesudahan. Siang hari tidak lagi diukur dengan pergerakan matahari, melainkan dengan ritme dentuman meriam-meriam VOC yang tanpa henti. Setiap ledakan yang mengguncang tembok benteng adalah sebuah detak jantung yang menyakitkan, sebuah pengingat konstan akan kematian yang sedang merayap semakin dekat. Malam hari tidak membawa kelegaan, hanya mengganti api ledakan dengan api kebakaran yang menjalar dari satu rumah ke rumah lain di dalam kota, melukis langit malam dengan warna jingga yang mengerikan.
Benteng Somba Opu, yang tadinya merupakan simbol kekuatan dan kebanggaan, kini telah berubah menjadi sebuah sangkar raksasa yang penuh dengan penderitaan. Di jalan-jalan yang tadinya ramai oleh pedagang dan prajurit yang gagah, kini dipenuhi oleh para pengungsi dari desa-desa yang hancur, wajah mereka kuyu karena kelaparan dan mata mereka kosong karena kehilangan. Lumbung-lumbung padi di istana telah lama kosong. Jatah makanan kini hanyalah segenggam sagu dan beberapa potong ikan kering per hari, bahkan untuk para prajurit di garda terdepan. Penyakit disentri mulai menyebar di perkemahan-perkemahan darurat, merenggut nyawa anak-anak dan orang tua lebih cepat daripada peluru Kompeni.
Dirgantara dan Daeng Ratu, yang kini terkurung di dalam istana, menolak untuk hanya berdiam diri dalam keputusasaan. Peran mereka sebagai penasihat perang mungkin telah dicabut, namun mereka menolak untuk menjadi penonton pasif dari tragedi ini. Dengan izin diam-diam dari beberapa menteri yang masih menaruh hormat pada mereka, mereka mengubah salah satu pendopo istana yang lebih kecil menjadi sebuah rumah sakit darurat, sebuah pulau ketertiban di tengah lautan kekacauan.
Di sinilah Dirgantara menyaksikan wajah perang yang paling brutal, wajah yang tidak pernah ia lihat dalam data-data dingin di arsip Lembaga. Ia melihat Daeng Ratu, perempuan bangsawan yang terbiasa dengan gulungan lontar dan tinta, kini berlutut di lantai yang kotor, tangannya yang halus dengan cekatan membersihkan luka seorang prajurit muda yang mengerang kesakitan. Ia melihat perempuan itu merobek kain jubahnya sendiri untuk dijadikan perban, membisikkan kata-kata penghiburan dalam bahasa Makassar yang lembut, menjadi sumber ketenangan di tengah penderitaan.
Dirgantara sendiri bekerja tanpa lelah. Ia menggunakan pengetahuan medis dasar dari masa depan, yang ia samarkan sebagai “ilmu pengobatan dari negeri seberang angin”. Ia mengajarkan para tabib lokal tentang pentingnya merebus air sebelum diminum untuk mencegah penyakit. Ia menunjukkan cara membuat perban penekan untuk menghentikan pendarahan hebat. Ia bahkan berhasil meracik sebuah larutan antiseptik sederhana dari cuka nira dan garam. Tindakan-tindakan kecil ini tidak akan memenangkan perang, namun berhasil menyelamatkan puluhan nyawa yang seharusnya sudah melayang.
Setiap malam, setelah bekerja hingga nyaris rubuh karena kelelahan, mereka akan duduk bersama di sudut tergelap rumah sakit itu, berbagi secangkir teh herbal pahit yang menjadi satu-satunya kemewahan mereka. Dalam momen-momen hening inilah, di tengah rintihan para prajurit yang terluka dan dentuman meriam yang tak pernah berhenti, aliansi mereka ditempa kembali, bukan lagi oleh kecerdasan, melainkan oleh rasa kemanusiaan bersama.
“Aku pernah membaca tentang pengepungan-pengepungan besar dalam tawarikh kuno,” bisik Daeng Ratu pada suatu malam, matanya menatap kosong ke arah seorang anak kecil yang sedang demam tinggi. “Tapi tulisan di atas lontar tidak pernah bisa menceritakan baunya. Bau darah, bau penyakit, dan bau harapan yang membusuk.”
Dirgantara menatap perempuan kuat di sampingnya. Ia melihat kelelahan yang luar biasa di matanya, namun juga sebuah keteguhan yang menolak untuk padam. “Di tempat asalku,” katanya pelan, sebuah pengakuan yang tulus, “kami memiliki alat buatan untuk membangun kota-kota di antara bintang-bintang. Tapi kami masih belum menemukan cara untuk menghapus penderitaan seperti ini dari jiwa manusia.”
“Mungkin penderitaan inilah yang membuat kita tetap menjadi manusia,” balas Daeng Ratu. Ia menoleh dan menatap Dirgantara. “Kau … kau merasakan setiap kematian ini, bukan? Meskipun kau bukan orang Gowa.”
Dirgantara hanya bisa mengangguk. Setiap jeritan, setiap nyawa yang hilang, terasa seperti sebuah kegagalan personal. Ia adalah sang penjaga waktu yang gagal menjaga waktunya.
Sementara itu, di balai penghadapan utama, Sultan Hasanuddin terus memimpin perlawanan dengan keberanian seekor singa yang terluka. Setiap hari ia berada di atas tembok benteng, busur di tangannya, memberikan semangat pada para prajuritnya. Ia menolak untuk menunjukkan kelemahan, menolak untuk menyerah. Namun saat malam tiba, para penjaga istana sering kali mendengarnya berjalan mondar-mandir sendirian di ruang takhtanya, raungannya yang tertahan terdengar seperti auman seekor binatang yang terperangkap. Ia tahu, sama seperti Dirgantara, bahwa keberanian saja tidak akan cukup untuk menahan gelombang pasang yang akan menenggelamkan mereka.
Pada hari kesepuluh pengepungan, sebuah terobosan kecil terjadi. Salah satu mata-mata Daeng Ratu berhasil kembali ke dalam benteng, membawa serta sebuah buku catatan kecil yang ia curi dari tenda seorang perwira rendah VOC. Buku itu berisi jadwal rotasi patroli dan, yang lebih penting, jadwal pengeboman artileri harian.
Malam itu, setelah memastikan semua pasien mereka telah terawat, Dirgantara dan Daeng Ratu membawa buku catatan itu ke ruang arsip yang telah lama mereka tinggalkan. Di bawah cahaya satu lampu minyak, Dirgantara membentangkan buku itu di samping peta pengepungan yang telah mereka buat.
“Ini aneh,” gumam Dirgantara setelah beberapa saat, jarinya menelusuri barisan angka dan waktu.