Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir

Kingdenie
Chapter #21

Satu Tembakan Terakhir

Malam itu adalah malam terpanjang dalam hidup Dirgantara. Setelah merancang rencana yang paling gila dalam sejarah artileri, ia dan Daeng Ratu tidak kembali ke rumah sakit darurat. Sebaliknya, mereka menuju ke bastion selatan, ke singgasana meriam raksasa ‘Anak Makassar’. Di bawah selubung kegelapan, diiringi oleh dentuman meriam VOC yang monoton dari kejauhan, mereka memulai persiapan untuk pertaruhan mereka yang mustahil.

Daeng Rate dan para ahli meriamnya, yang kini telah diikat oleh sumpah kerahasiaan dan secercah harapan yang fanatik, bekerja dalam keheningan yang tegang. Ruang di bawah bastion itu, yang biasanya hanya berisi tumpukan mesiu dan bola-bola meriam, kini telah berubah menjadi sebuah bengkel alkimia. Dirgantara, dengan pengetahuan dari masa depan, membimbing tangan-tangan terampil dari masa lalu.

Mereka mengambil tiga bola meriam terbaik. Dengan bor tangan dan kesabaran yang luar biasa, mereka melubangi setiap bola besi padat itu, membuang sebagian isinya untuk mengurangi berat. Prosesnya lambat dan berbahaya. Satu percikan api saja bisa meledakkan seluruh bastion. Kemudian, mereka mengisi kembali lubang itu dengan campuran material yang lebih ringan namun mudah terbakar, serbuk belerang dan damar yang ditumbuk halus sebelum menyumbatnya kembali dengan sumbat timah yang dipanaskan. Tujuannya adalah menciptakan proyektil yang lebih ringan, yang bisa meluncur lebih jauh, dan berpotensi meledak saat menghantam target.

Selanjutnya adalah mesiu. Dirgantara mengajarkan resep baru. Mereka tidak menggunakan mesiu biasa. Mereka mencampurnya dengan takaran serbuk arang dari kayu randu yang sangat halus dan sedikit bubuk belerang tambahan. “Campuran ini akan terbakar lebih cepat, lebih panas,” jelas Dirgantara pada Daeng Rate, tangannya dengan cekatan menakar bahan-bahan itu. “Ia akan memberikan daya dorong yang jauh lebih besar. Tapi ia juga akan membuat meriam ini menjerit seperti iblis yang sedang disiksa. Pastikan fondasinya kuat.”

Daeng Rate menatap campuran hitam yang berkilauan itu, lalu menatap Dirgantara dengan campuran rasa takut dan kagum. Ia merasa seperti sedang diajari sihir hitam oleh seorang panrita, seorang guru besar.

Saat fajar pertama mulai menyingsing, mewarnai langit timur dengan sapuan warna kelabu, persiapan mereka selesai. Tiga bola meriam yang telah dimodifikasi tergeletak dengan rapi di samping ‘Anak Makassar’, tampak seperti telur-telur naga yang siap menetas. Para ahli meriam itu duduk bersandar di dinding, wajah mereka hitam oleh jelaga dan tegang karena kurang tidur.

“Jendela waktu itu akan terbuka tepat satu jam setelah matahari terbit,” kata Dirgantara pada Daeng Ratu, suaranya serak. Mereka berdiri di atas tembok benteng, menatap ke arah armada VOC yang siluetnya mulai terlihat di tengah kabut pagi. “Kita hanya punya tujuh menit.”

Saat itulah, langkah-langkah kaki yang berat terdengar di tangga batu di belakang mereka. Sultan Hasanuddin, bersama Karaeng Patingalloang dan selusin pengawal Bissue, muncul di atas tembok. Wajah sang Sultan keras, matanya yang tajam langsung tertuju pada meriam yang telah dimodifikasi dan bola-bola aneh di sampingnya. Ia telah mendengar desas-desus tentang aktivitas rahasia di bastion selatan.

“Apa yang sedang kalian lakukan?” tanya Sultan, suaranya dingin dan penuh curiga. “Apa arti dari semua permainan ini?”

“Kami sedang mempersiapkan satu kesempatan terakhir, Paduka,” jawab Daeng Ratu dengan tenang, melangkah maju dan membungkuk hormat.

“Kesempatan untuk apa? Menyia-nyiakan mesiu kita untuk sebuah dongeng tentang tembakan ajaib?” cibir Karaeng Patingalloang.

Dirgantara tidak membuang waktu untuk menjelaskan teorinya. Ia hanya menunjuk ke arah lautan. “Lihat, Paduka,” katanya, suaranya mantap.

Tepat seperti yang ia prediksi dari pola yang ia temukan, dentuman meriam dari sektor barat armada VOC, yang biasanya paling gencar di pagi hari, mulai melambat. Dan kapal komando Laksamana Speelman, yang agung dan mengintimidasi, mulai berputar perlahan, menunjukkan sisi lambungnya yang lebar ke arah mereka. Jendela waktu itu telah terbuka.

“Sekarang!” teriak Dirgantara pada Daeng Rate.

Para ahli meriam itu, yang tadinya tegang melihat kedatangan Sultan, kini bergerak dengan kecepatan yang panik namun terkoordinasi. Mereka memasukkan kantung mesiu yang telah dimodifikasi, mendorong masuk bola meriam “ajaib” yang pertama, dan mulai mengatur sudut meriam dengan busur derajat kayu mereka.

Lihat selengkapnya