Keheningan yang mengikuti ledakan dahsyat kapal komando VOC adalah keheningan yang sangat nyata dan sakral. Selama beberapa detik ribuan prajurit di kedua belah pihak hanya bisa menatap pilar api dan asap hitam yang membumbung ke langit di tempat di mana kebanggaan armada Kompeni tadinya berlabuh. Mereka adalah saksi dari sebuah keajaiban, sebuah tindakan para dewa yang terjadi di depan mata mereka.
Di atas tembok Benteng Somba Opu, keheningan itu pecah pertama kali. Bukan oleh sorak-sorai, melainkan oleh suara tawa. Tawa yang dalam, serak, dan penuh dengan kelegaan yang nyaris gila. Sultan Hasanuddin tertawa, kepalanya menengadah ke langit, membiarkan gema tawanya menggema di atas bentengnya yang terluka. Amarah dan keputusasaan yang telah membebani jiwanya selama berminggu-minggu kini telah luruh, digantikan oleh semangat perang yang paling murni.
Ia berhenti tertawa dan menatap Dirgantara. Tatapannya yang tadinya dingin dan penuh perhitungan kini membara dengan api baru. “Kau bukan hanya seorang penasihat, Tuan Penjaga Waktu,” katanya, suaranya menggelegar. “Kau adalah pertanda. Sebuah pertanda bahwa kekuatan langit belum meninggalkan Gowa!”
Ia lalu berbalik, tidak lagi menunggu analisis atau strategi. Nalurinya sebagai seorang panglima perang kini telah mengambil alih sepenuhnya. Ia melihat ke lautan, ke arah sisa-sisa armada VOC yang kini kacau balau, tanpa pemimpin, tanpa arah. Ia melihat ke daratan, ke arah pasukan Arung Palakka yang tertegun, bingung oleh kehancuran sekutu mereka yang tak terkalahkan. Ia mencium bau ketakutan di udara. Dan seperti seekor hiu yang mencium bau darah, ia tahu inilah saatnya untuk menyerang.
“Keajaiban telah memberi kita satu kesempatan, Paduka Sultan,” kata Dirgantara, suaranya mendesak, mencoba mengarahkan semangat yang membara itu. “Tapi keajaiban tidak akan memenangkan perang. Tindakanlah yang akan memenangkannya. Sekarang adalah saatnya!”
Sultan Hasanuddin menyeringai, sebuah seringai yang buas dan penuh percaya diri. “Kau telah membuka gerbang neraka bagi mereka, Tuan Penasihat. Sekarang, biarkan aku yang memimpin pasukanku untuk berbaris melewatinya.”
Ia tidak lagi memanggil dewan perang. Ia tidak lagi meminta pendapat para panglimanya. Ia menghunus pedang pusakanya, Sudanga, bilahnya yang panjang berkilauan di bawah cahaya fajar yang baru menyingsing. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi.
“DENGARKAN AKU, WAHAI ANAK-ANAK MAKASSAR!” teriaknya, suaranya yang diperkuat oleh amarah dan harapan kini terdengar hingga ke seluruh penjuru benteng. “Musuh kita telah dibutakan! Pemimpin mereka telah ditelan oleh lautan! Mereka kini seperti sekawanan kerbau tanpa kepala! Selama berminggu-minggu, kita bersembunyi di balik tembok ini, menahan hinaan mereka, meratapi saudara-saudara kita yang gugur!”
Ia menunjuk ke arah medan perang di luar dengan pedangnya. “Hari ini, kita tidak akan lagi bertahan! Hari ini, kita akan memburu! Kita akan menunjukkan pada para penakluk dari seberang lautan itu dan para pengkhianat yang bersekutu dengan mereka, bagaimana cara Ayam Jantan dari Timur bertarung!”
“SIAPKAN PASUKAN! BUKA GERBANG UTAMA!” aumnya. “FAJAR INI, KITA AKAN MINUM DARAH MUSUH-MUSUH KITA!”