Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir

Kingdenie
Chapter #23

Gema Perang Saudara

Euforia kemenangan adalah api yang hangat namun singkat. Setelah raungan kemenangan mereda di medan perang, keheningan yang datang terasa lebih berat, dipenuhi oleh bau anyir darah, mesiu, dan daging yang hangus. Fajar yang tadinya agung kini menyinari sebuah pemandangan neraka. Ratusan mayat, prajurit Gowa, serdadu VOC, dan prajurit Bugis tergeletak bercampur baur di atas tanah yang becek oleh darah, menjadi saksi bisu dari keganasan yang baru saja terjadi.

Di tengah-tengah semua itu, Sultan Hasanuddin berdiri seperti sebuah monolit, tak tergoyahkan. Ia berjalan di antara para prajuritnya, menepuk pundak mereka yang terluka, dan memberikan anggukan hormat pada mereka yang telah gugur. Ia adalah sang Ayam Jantan dari Timur, dan ia baru saja memenangkan pertarungan terbesarnya. Di matanya, tidak ada lagi keraguan atau kemarahan, hanya ada api kemenangan yang membara, sebuah api yang menuntut lebih banyak bahan bakar.

Dirgantara berdiri di atas tembok benteng yang hancur, menatap pemandangan itu dari kejauhan. Di sampingnya, Daeng Ratu sedang memberikan perintah kepada para tabib untuk segera turun ke medan perang. Kemenangan ini terasa begitu nyata, begitu brutal. Ia telah membantu Gowa meraih sebuah kemenangan yang mustahil. Namun, saat ia melihat ke arah perkemahan Arung Palakka di kejauhan, yang tetap diam dan tak bergerak seperti seekor ular yang sedang menunggu, ia tahu bahwa perang ini belum benar-benar berakhir.

Ia tidak merasakan kelegaan. Sebaliknya, sebuah kegelisahan yang dingin mulai menjalari hatinya. Kaelan. Apa yang terjadi pada Kaelan? Kapal komando itu hancur berkeping-keping. Secara logika, tidak ada yang bisa selamat dari ledakan sebesar itu. Namun, Kaelan bukanlah manusia biasa. Ia adalah seorang agen elite dari masa depan, yang tubuhnya mungkin saja dilengkapi dengan pelindung energi darurat atau sistem penyelamatan yang tak terbayangkan di zaman ini. Selama tidak ada mayat yang ditemukan, selama ia tidak melihat bukti fisiknya, ia tidak akan pernah bisa tenang.

“Kau tidak terlihat seperti seorang lelaki yang baru saja memenangkan perang,” kata Daeng Ratu pelan, kini berdiri di sampingnya. Ia telah selesai memberikan perintah, dan kini matanya yang lelah menatap Dirgantara.

“Karena perang ini belum selesai, Daeng,” jawab Dirgantara. “Kita baru saja memotong salah satu kepala naga itu. Tapi kepala yang lain … masih menatap kita dari seberang sana.”

Sore itu, dewan perang kembali dikumpulkan di balai penghadapan. Suasananya adalah sebuah euforia yang liar. Para panglima, yang beberapa hari lalu wajahnya pucat karena keputusasaan, kini tertawa terbahak-bahak, saling menepuk punggung, dan menceritakan kembali kisah-kisah kepahlawanan mereka di medan perang. Arak terbaik dari lumbung istana dikeluarkan, dan piala-piala tanduk diangkat tinggi-tinggi.

“Untuk Sultan Hasanuddin! Sang penakluk Kompeni!” teriak Karaeng Patingalloang, wajahnya memerah karena arak dan kemenangan.

“UNTUK GOWA!” balas para panglima lainnya serempak.

Sultan Hasanuddin duduk di singgasananya, menikmati pemujaan itu. Api di matanya kini telah menjadi sebuah kobaran yang bangga. Ia telah membuktikan pada dunia bahwa Gowa tidak bisa ditaklukkan.

Dirgantara dan Daeng Ratu duduk diam di sudut, tidak ikut dalam perayaan itu. Mereka seperti dua orang asing di tengah pesta kemenangan mereka sendiri.

“Sekarang,” kata Sultan setelah gelombang perayaan pertama mereda, suaranya menggelegar. “Kita telah mengusir anjing-anjing Eropa itu kembali ke laut. Tapi masih ada satu pekerjaan lagi yang harus diselesaikan. Masih ada para pengkhianat di halaman belakang kita.”

Semua mata menoleh ke arah peta daratan, ke arah panji-panji yang mewakili pasukan Arung Palakka.

“Pasukan mereka tidak ikut campur dalam pertempuran terakhir,” lapor seorang panglima. “Mereka hanya menonton dari kejauhan, seperti sekawanan gagak yang menunggu sisa-sisa perjamuan. Mereka pasti ketakutan setelah melihat kekuatan kita.”

“Bagus,” kata Sultan dengan seringai dingin. “Biarkan mereka ketakutan. Besok pagi, saat fajar, kita akan berbaris ke perkemahan mereka. Kita akan memberikan mereka dua pilihan: berlutut dan menyerahkan pemimpin mereka, Arung Palakka, untuk diadili … atau kita akan menghapus seluruh jejak mereka dari muka bumi ini.”

Sebuah raungan persetujuan yang buas kembali menggema di ruangan itu. Mereka sedang mabuk kemenangan, dan dalam kemabukan itu, mereka haus akan lebih banyak darah.

Lihat selengkapnya