Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir

Kingdenie
Chapter #24

Percakapan dengan Sang Musuh Bebuyutan

Perjalanan menuju perkemahan Arung Palakka adalah sebuah perjalanan melintasi tanah yang sedang sekarat. Dirgantara berangkat sebelum fajar, sendirian, hanya berbekal Kujang Naga di pinggangnya, sebuah kantung kulit berisi air dan dendeng, serta dua gulungan lontar yang tersembunyi di balik jubahnya. Satu berisi bukti pengkhianatan VOC, yang lain berisi pesan pribadi dari Sultan Hasanuddin yang menawarkan gencatan senjata sementara untuk sebuah pertemuan terhormat.

Ia tidak menunggang kuda. Seekor kuda akan terlalu mencolok dan terlalu berisik. Sebaliknya, ia berjalan kaki, mengikuti jalur-jalur tikus yang diajarkan oleh para pengintai Orang Laut, bergerak seperti hantu melewati lanskap yang telah dihancurkan oleh perang yang ia bantu eskalasikan.

Ia melewati desa-desa yang tadinya makmur, kini hanyalah siluet-siluet hitam yang hangus di bawah langit kelabu. Ia mencium bau abu yang dingin dan bau kematian yang samar-samar terbawa angin. Ia melihat ladang-ladang yang tadinya hijau kini terinjak-injak, dan sungai-sungai kecil yang airnya keruh oleh darah yang telah lama mengering. Setiap langkah adalah sebuah pengingat akan konsekuensi dari permainan catur yang ia mainkan. Di sini, tidak ada pahlawan atau penjahat, hanya ada penderitaan.

Di dalam kesendirian perjalanannya, pikirannya menjadi musuhnya yang paling kejam. Gema dari dua zaman terus menghantuinya. Ia teringat pada Ratna Laras, pada keteguhan sumpahnya. Apa yang akan dilakukan Ratna jika berada di posisinya? Wanita itu mungkin akan memilih jalan pedang, jalan yang lebih lurus, bukan jalan diplomasi licik yang penuh ketidakpastian ini. Lalu ia teringat pada Zahira, pada mimpinya tentang dunia yang terhubung oleh kepercayaan. Apa yang sedang ia lakukan sekarang adalah perwujudan dari mimpi itu, mencoba membangun jembatan kepercayaan di atas jurang kebencian. Ironisnya, ia harus melakukannya sendirian, setelah menghancurkan hati perempuan yang telah mengajarinya tentang mimpi itu.

Setelah dua hari berjalan tanpa henti, ia akhirnya tiba di wilayah kekuasaan Bone. Suasananya langsung berubah. Desa-desa di sini tidak hancur; sebaliknya, mereka dijaga dengan ketat oleh para prajurit Bugis yang waspada. Ia melihat panji-panji Kerajaan Bone berkibar dengan bangga di setiap persimpangan jalan. Ini bukanlah wilayah taklukan; ini adalah sebuah kerajaan yang sedang bangkit dari abunya, dipimpin oleh seorang pangeran yang mereka anggap sebagai sang pembebas.

Ia tidak mencoba menyelinap. Sesuai instruksi Sultan, ia berjalan di jalan utama, membiarkan dirinya terlihat. Tak butuh waktu lama hingga ia dihadang oleh sebuah patroli. Puluhan prajurit Bugis yang berwajah keras langsung mengepungnya, ujung tombak mereka terarah padanya.

“Berhenti!” seru komandan patroli itu. “Siapa kau, orang Makassar, berani menginjakkan kaki di tanah Bone?”

“Namaku Dirgantara,” jawabnya dengan tenang. “Aku datang sebagai utusan. Aku membawa pesan untuk pemimpinmu, Arung Palakka.”

Para prajurit itu tertawa merendahkan. “Utusan dari Penindas Gowa? Pesanmu pasti berisi ancaman kosong.”

“Aku tidak datang atas nama Gowa,” kata Dirgantara. “Aku datang atas nama kebenaran.”

Kata-katanya yang aneh dan ketenangannya yang tidak wajar sepertinya membuat sang komandan ragu. Setelah perdebatan singkat, mereka mengikat tangan Dirgantara di belakang punggungnya, sebuah formalitas yang ia terima tanpa perlawanan dan menggiringnya menuju perkemahan utama.

Perkemahan Arung Palakka sangat berbeda dari Somba Opu. Jika Somba Opu adalah sebuah benteng batu yang kokoh dan teratur, maka perkemahan ini adalah sebuah kota tenda yang luas, hidup, dan penuh dengan energi yang liar. Ribuan prajurit Bugis berkumpul di sini, suara mereka riuh rendah, tawa mereka keras, dan tatapan mata mereka menyala dengan api kebanggaan yang baru ditemukan kembali. Di sini, di jantung perlawanan Bone, Arung Palakka bukanlah sekadar seorang komandan; ia adalah simbol dari kebangkitan sebuah bangsa.

Dirgantara digiring melewati lautan prajurit yang menatapnya dengan kebencian, melewati para perempuan yang meludah ke tanah saat ia lewat, hingga akhirnya ia tiba di depan sebuah tenda yang lebih besar dari yang lain, dihiasi oleh panji-panji Kerajaan Bone.

Di sanalah ia melihatnya untuk pertama kali. Sang pahlawan tragis. Arung Palakka.

Ia adalah seorang lelaki yang usianya mungkin sebaya dengan Sultan Hasanuddin, namun wajahnya tampak lebih tua, ditempa oleh penderitaan dan dendam selama puluhan tahun di pengasingan. Ia tidak duduk di atas singgasana, melainkan di atas sebuah tikar sederhana, sedang memeriksa sebilah keris pusaka. Ia mengenakan pakaian yang sederhana, namun aura wibawa dan karisma yang menguar dari dirinya begitu kuat hingga terasa menyesakkan. Matanya yang tajam menatap Dirgantara saat ia dibawa masuk.

“Jadi, inilah dia,” kata Arung Palakka, suaranya tenang namun mengandung getaran yang berbahaya. “Penyihir dari Gowa. Cendekiawan yang meriamnya bisa berbicara. Aku sudah mendengar banyak tentangmu.”

Lihat selengkapnya