Tenda tahanan itu adalah sebuah sangkar yang aneh. Dindingnya terbuat dari kain tenun yang tebal, namun di luarnya, empat pengawal pribadi Arung Palakka yang paling setia berdiri diam seperti patung, badik mereka berkilauan di bawah cahaya bulan. Makanan yang disajikan untuk Dirgantara adalah makanan yang sama yang dimakan oleh sang pangeran sendiri, nasi hangat, ikan bakar berempah, dan sayuran segar. Ia diperlakukan sebagai tamu terhormat, namun kebebasannya direnggut sepenuhnya. Ia adalah sebuah rahasia, sebuah pertanyaan yang belum terjawab, dan Arung Palakka menyimpannya dengan rapat hingga ia menemukan jawabannya.
Selama dua hari, Dirgantara menunggu di dalam keheningan yang menyesakkan itu. Ia tidak tahu apa yang terjadi di luar. Ia tidak tahu apakah Sultan Hasanuddin telah melancarkan serangan nekatnya, atau apakah Kaelan telah memulai babak berikutnya dari rencananya. Ia hanya bisa menunggu, dan dalam penantian itu, pikirannya menjadi medan pertempurannya sendiri. Ia terus memutar ulang pertemuannya dengan Arung Palakka, menganalisis setiap kata, setiap tatapan mata. Isyarat tangan sang pangeran pada pengawalnya adalah satu-satunya secercah harapan yang ia miliki, sebuah api lilin kecil di tengah badai yang mengamuk.
Pada malam hari kedua, tirai tendanya disibakkan. Bukan seorang penjaga yang masuk, melainkan Arung Palakka sendiri. Ia datang sendirian, tanpa pengawal. Di tangannya, ia membawa dua cawan gerabah berisi tuak aren.
“Minumlah,” katanya, menyodorkan satu cawan pada Dirgantara. Itu bukanlah sebuah permintaan.
Dirgantara menerimanya. Mereka duduk bersila di atas tikar pandan dalam diam, hanya suara jangkrik dari luar yang memecah keheningan.
“Pengintaiku telah kembali dari Camba,” kata Arung Palakka akhirnya, suaranya rendah dan berat. Ia tidak menatap Dirgantara, melainkan menatap kosong ke dinding tenda.
Jantung Dirgantara berhenti berdetak.
“Tidak ada konvoi harta karun,” lanjut sang pangeran. “Yang mereka lihat adalah serombongan kecil perempuan dan anak-anak, bergerak dalam ketakutan, dikawal oleh beberapa prajurit tua.” Ia berhenti, meneguk tuaknya dalam satu tegukan. “Mereka melihat pasukan Kompeni yang bersembunyi di hutan, siap untuk menyergap rombongan tak berdaya itu.”
Ia meletakkan cawannya dengan keras. “Pengintaiku juga membawa kabar lain. Mereka berhasil menangkap salah satu kurir Kompeni yang dikirimkan oleh penasihatmu itu … Kaelan. Pesan itu berisi perintah untuk membantai semua orang di Camba, lalu menyalahkan prajurit Bugis atas kekejaman itu, untuk memastikan Gowa tidak akan pernah memaafkan kita.”
Keheningan yang mengikuti pengakuan itu terasa begitu berat, seolah dipenuhi oleh arwah para perempuan dan anak-anak yang nyaris menjadi korban. Dirgantara tidak merasakan kemenangan. Ia hanya merasakan kesedihan yang mendalam atas betapa rendahnya Kaelan bisa tenggelam.
“Jadi, kau percaya padaku sekarang?” tanya Dirgantara pelan.
Arung Palakka akhirnya menoleh, dan di matanya, Dirgantara melihat sebuah badai emosi yang mengerikan. Ada kemarahan, ada rasa malu, dan yang paling dalam, ada kepedihan dari seorang lelaki yang menyadari bahwa seluruh perjuangan sucinya telah dibangun di atas sebuah kebohongan.
“Percaya padamu?” desisnya. “Kau adalah utusan dari Gowa, musuh bebuyutanku. Leluhur Gowa membantai leluhurku. Rajamu menghina rakyatku. Dan kau datang kemari, memintaku untuk percaya pada sebuah dongeng?” Ia bangkit, mondar-mandir di dalam tenda seperti seekor harimau yang terperangkap. “Tapi si mata pucat itu … sekutu yang kupercaya … ternyata adalah seekor ular yang lebih berbisa. Ia memberiku senjata untuk membalaskan dendamku, tapi ia juga yang memegang tali kekang di leherku.”
Ia berhenti dan menatap Dirgantara. “Aku tidak tahu siapa yang harus kupercaya. Aku terjebak di antara dua iblis.”
“Kau tidak terjebak, Pangeran,” kata Dirgantara. “Kau memiliki pilihan. Pilihan untuk berhenti menjadi bidak dalam permainan orang lain, dan mulai memainkan permainanmu sendiri.”
Saat itulah, keributan terdengar dari luar tenda. Kaelan, yang tidak dipanggil, masuk dengan angkuh, diikuti oleh selusin musketir VOC bersenjata lengkap. Wajahnya menunjukkan senyum yang dingin.
“Sepertinya aku mengganggu sebuah percakapan yang intim,” katanya dengan nada menyindir. Ia menatap Arung Palakka. “Aku datang untuk memberitahumu, Pangeran. Waktu untuk berbicara telah usai. Laksamana Speelman sudah tidak sabar. Serangan terakhir ke Somba Opu akan dilancarkan saat fajar. Aku harap pasukanmu siap.”