Kemenangan terasa seperti abu di mulut Dirgantara. Tubuh Kaelan yang tak bernyawa tergeletak di kakinya, sebuah simbol dari duel yang telah ia menangkan. Namun, matanya tidak lagi tertuju pada lawannya dari masa depan itu. Ia menatap nanar ke arah Somba Opu yang jauh. Sayup raungan kemenangan para prajurit Bugis terdengar seperti gema dari dunia lain, tak mampu menembus keheningan yang kini menyelimuti jiwanya.
Ia telah memenangkan duel. Namun ia baru saja kalah dalam perang.
Di barisan terdepan, Arung Palakka berdiri membeku, wajahnya adalah topeng kengerian dan penyesalan yang tak terlukiskan. Ia menatap ke arah Somba Opu, lalu menatap mayat Kaelan, lalu kembali menatap Dirgantara. Di matanya yang tajam, Dirgantara melihat badai kehancuran seorang lelaki yang menyadari bahwa seluruh perjuangan sucinya, seluruh dendam yang telah ia pupuk selama puluhan tahun, ternyata hanyalah sebuah bidak dalam permainan catur yang dimainkan oleh iblis. Ia telah ditipu. Dan harga dari ketidakpercayaannya adalah kehancuran benteng yang seharusnya menjadi saingannya, bukan mangsanya.
“Tidak …” bisiknya, suaranya serak. Ia berbalik ke arah para panglimanya. “Hentikan pasukan! HENTIKAN MEREKA SEMUA!”
Namun teriakannya tenggelam ditelan oleh raungan ribuan prajurit Bugis yang kini bergerak maju seperti gelombang pasang, menerjang menuju Somba Opu. Mereka tidak lagi mematuhi perintahnya. Mereka mematuhi perintah dari para perwira VOC yang telah ditanamkan di antara mereka, yang kini meniup peluit dan meneriakkan aba-aba serangan. Kaelan, bahkan dalam kematiannya, telah memastikan bahwa mesin perangnya akan tetap berjalan. Arung Palakka, sang pahlawan pembebas, kini hanyalah seorang penonton tak berdaya dari kehancuran yang terjadi atas namanya.
Di atas tembok Benteng Somba Opu, Sultan Hasanuddin menyaksikan pemandangan yang akan menghantui sisa hidupnya. Ia melihat Karaeng Sumanna, bangsawan yang telah ia percayai, yang telah duduk di dewan perangnya, menghunus kerisnya dan menusuk komandan penjaga gerbang dari belakang. Dengan tawa kemenangan yang gila, Sumanna memberi isyarat kepada para pengkhianat lain di dalam benteng.
Gerbang utama yang tadinya kokoh, yang telah menahan ratusan tembakan meriam, kini dibuka dari dalam. Suara deritnya yang berat terdengar seperti rintihan kematian sebuah kerajaan.
Dari kegelapan, ribuan prajurit Bugis dan serdadu VOC menyerbu masuk, pekikan perang mereka bercampur dengan dentuman senapan sundut. Pertempuran tidak lagi terjadi di luar tembok. Pertempuran kini terjadi di jalanan, di halaman, di setiap sudut kota benteng yang tadinya aman.
“PENGKHIANAT!” raung Sultan Hasanuddin, suaranya pecah oleh amarah dan kepedihan. Ia tidak menunggu. Ia tidak mencoba mengatur formasi. Nalurinya sebagai seekor singa yang terluka mengambil alih. Dengan pedang Sudanga terhunus, ia melompat menuruni tangga bastion, diikuti oleh pengawal-pengawal Bissue-nya yang paling setia, dan langsung menerjang ke jantung pertempuran.
Ia mengamuk. Ia bukan lagi seorang raja, melainkan perwujudan dari Siri’ na Pacce itu sendiri. Setiap tebasan pedangnya adalah sebuah jeritan duka atas kerajaannya yang ternoda. Setiap musuh yang jatuh di hadapannya adalah sebuah persembahan kecil untuk memadamkan api pengkhianatan yang membakar jiwanya. Para prajurit Gowa yang tersisa, yang melihat raja mereka bertarung seperti dewa perang, kembali menemukan semangat mereka. Mereka tidak lagi bertarung untuk menang. Mereka bertarung untuk mati dengan terhormat, untuk menumpahkan sebanyak mungkin darah musuh sebelum mereka sendiri rubuh.
Jalan-jalan Somba Opu berubah menjadi neraka. Pertarungan berlangsung dari rumah ke rumah, dari lorong ke lorong. Udara dipenuhi oleh bau darah, bau mesiu, dan bau daging yang hangus saat api mulai menjalar dari atap-atap jerami.
Kembali di perkemahan Bone, Dirgantara tidak membuang waktu. Saat Arung Palakka masih membeku dalam penyesalannya, ia tahu ia hanya punya satu tugas tersisa. Bukan lagi untuk memenangkan perang, melainkan untuk menyelamatkan sisa-sisa dari apa yang masih bisa diselamatkan.
“Daeng Ratu,” bisiknya pada dirinya sendiri.