Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir

Kingdenie
Chapter #27

Gema di Atas Puing

Hujan yang turun di atas Somba Opu yang telah jatuh bukanlah hujan yang menyucikan. Itu adalah air mata langit yang dingin dan kelabu, yang turun untuk memadamkan sisa-sisa bara api di atap-atap yang hangus dan untuk membersihkan darah dari jalanan batu, mengubahnya menjadi aliran-aliran kecil berwarna merah karat yang mengalir menuju lautan.

Keheningan yang mengikuti riuh rendah pertempuran adalah keheningan yang paling mengerikan dari semuanya. Itu adalah keheningan kematian, keheningan dari sebuah kerajaan yang jiwanya telah direnggut.

Di dalam hutan bakau yang lebat di tepi muara sungai, kelompok kecil yang berhasil melarikan diri itu hanya bisa menonton dalam diam. Sultan Hasanuddin, sang Ayam Jantan dari Timur, berdiri bersandar di sebatang pohon, pedang Sudanga miliknya tertancap di tanah di hadapannya. Jubah merah darahnya yang agung kini sobek dan berlumpur, wajahnya yang biasanya keras kini tampak seperti topeng penderitaan. Ia tidak lagi melihat ke arah bentengnya yang kini dinodai oleh bendera tiga warna Kompeni. Matanya menatap kosong ke arah air sungai yang keruh, seolah sedang melihat pantulan dari kerajaannya yang telah hilang. Para panglima dan prajurit Bissue yang tersisa berdiri di sekelilingnya, membentuk lingkaran pelindung yang sunyi, kesetiaan mereka tak goyah bahkan di tengah kekalahan total.

Dirgantara duduk di atas akar pohon yang menonjol, mencoba mengabaikan rasa sakit yang membakar di bahunya, luka dari pertarungannya dengan Kaelan yang kini hanya dibalut seadanya. Namun, rasa sakit fisik itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan lautan rasa bersalah dan kegagalan yang mengancam akan menenggelamkan jiwanya. Ia telah gagal. Ia telah mempertaruhkan segalanya pada sebuah duel, dan meskipun ia memenangkan duel itu, ia telah kalah dalam perang yang sesungguhnya. Ia telah melihat langsung bagaimana Kaelan, bahkan dalam kematiannya, masih bisa tertawa terakhir. Rencana cadangan sang pembelot, pengkhianatan dari dalam itu, telah berhasil dengan sempurna.

Daeng Ratu duduk tak jauh darinya. Perempuan cerdas yang matanya biasanya selalu berkilat dengan analisis dan strategi itu kini hanya menatap kosong ke arah peti kayu yang berhasil ia selamatkan, satu-satunya sisa dari arsip dan sejarah agung Gowa. Ia tidak menangis. Kesedihannya terlalu dalam untuk air mata. Ia tampak seperti seorang pustakawan yang baru saja menyaksikan perpustakaan terbesar di dunia terbakar habis, dan ia hanya berhasil menyelamatkan satu buku.

“Semuanya sia-sia,” bisik Daeng Ratu, suaranya parau, lebih ditujukan pada dirinya sendiri daripada pada Dirgantara. “Semua kemenangan kecil kita … semua strategi … semuanya berakhir menjadi abu.”

Dirgantara tidak punya kata-kata untuk menghiburnya. Karena ia merasakan hal yang sama. Ia teringat pada semua yang telah terjadi: kemenangan artileri yang mustahil, serangan gerilya yang cerdas, keberanian para prajurit yang tak terhingga. Semua itu kini terasa seperti dongeng yang diceritakan untuk meninabobokan seorang anak, sebelum kenyataan pahit membangunkannya dengan kasar.

“Aku yang salah,” kata Dirgantara pelan, suaranya berat oleh penyesalan. “Aku terlalu fokus pada Kaelan. Aku terlalu fokus pada duel pribadiku dengannya. Aku seharusnya bisa melihat kemungkinan pengkhianatan ini. Aku seharusnya bisa mengantisipasinya.”

Daeng Ratu akhirnya menoleh, dan di matanya yang sembap, Dirgantara melihat secercah kehangatan. “Jangan,” katanya. “Jangan kau pikul beban ini sendirian. Kita semua bertarung dengan segenap kekuatan kita. Terkadang, kekuatan saja tidak cukup untuk melawan pengkhianatan yang paling licik.” Ia berhenti sejenak, menatap ke arah Sultan yang masih membisu. “Kita tidak kalah karena kita lemah. Kita kalah karena kita masih memiliki sesuatu yang disebut kehormatan.”

Saat malam mulai turun, membawa serta dingin yang menusuk tulang, mereka mendengar suara perahu-perahu kecil mendekat. Para prajurit Bissue langsung siaga, pedang terhunus. Namun, itu bukanlah musuh. Itu adalah Daeng Awing, sang nakhoda tua, bersama sisa-sisa Pasukan Bayangan Darat. Mereka datang dengan beberapa perahu nelayan, membawa serta makanan, air bersih, dan obat-obatan.

Lihat selengkapnya