Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir

Kingdenie
Chapter #28

Perpisahan di Atas Puing

Beberapa hari setelah kejatuhan Somba Opu, dunia seolah kehilangan warnanya. Kelompok kecil pengungsi dari istana, yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin, telah mendirikan sebuah perkemahan darurat di pedalaman, jauh di dalam hutan lebat yang menjadi benteng pertahanan alami mereka. Di sini, di bawah naungan pohon-pohon raksasa yang seolah ikut berduka, sisa-sisa dari sebuah kerajaan agung mencoba untuk bertahan hidup.

Tidak ada lagi kemegahan istana, hanya tenda-tenda sederhana yang terbuat dari kain layar kapal yang diselamatkan. Tidak ada lagi hidangan mewah, hanya sagu dan umbi-umbian hutan yang direbus di atas api unggun. Namun, di tengah semua kesederhanaan dan kehilangan itu, sesuatu yang baru mulai tumbuh. Semangat perlawanan.

Sultan Hasanuddin tidak lagi meratapi takhtanya yang hilang. Setiap hari, ia berkumpul dengan para panglima dan prajuritnya yang tersisa, merencanakan serangan-serangan gerilya kecil, menusuk-nusuk pasukan VOC dan Bone seperti nyamuk yang tak kenal lelah. Ia telah kehilangan kerajaannya, namun ia telah menemukan kembali jiwanya sebagai seorang pejuang. Ia kini adalah raja dari hutan belantara, pemimpin dari sebuah perlawanan yang tak akan pernah padam.

Dirgantara menyaksikan transformasi ini dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasakan kebanggaan yang luar biasa. Gema perlawanan yang ia harapkan telah lahir. Legenda Ayam Jantan dari Timur tidak mati di Somba Opu; ia justru ditempa kembali dalam api kekalahan, menjadi lebih kuat dan lebih murni. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa tempatnya bukan lagi di sini.

Perang kini telah memasuki fase yang berbeda. Fase perang gerilya yang panjang dan melelahkan, yang akan diperjuangkan oleh para pahlawan Gowa itu sendiri. Peran Dirgantara sebagai ahli strategi agung telah berakhir. Kehadirannya yang terus-menerus di sini hanya akan menjadi anomali yang berbahaya, yang bisa menarik perhatian Lembaga yang ia tahu pasti sedang menganalisis garis waktu yang baru ini. Sudah saatnya baginya untuk pergi, untuk menghilang kembali ke dalam arus waktu sebelum jejaknya menjadi terlalu jelas.

Keputusan itu terasa berat, namun tak terhindarkan. Ia telah melakukan semua yang ia bisa. Ia telah menanam benih. Kini, ia harus percaya bahwa benih itu cukup kuat untuk tumbuh sendiri.

Ia mencari Daeng Ratu. Ia tidak menemukannya di tengah kesibukan perkemahan. Sebaliknya, ia menemukannya di sebuah tempat yang sunyi, di tepi sebuah sungai kecil yang airnya jernih. Perempuan itu tidak sedang merancang strategi atau membaca laporan. Ia sedang melakukan sesuatu yang lain. Di hadapannya, terbentang beberapa lembar lontar yang telah dihaluskan. Dengan pena kalam di tangannya, ia sedang menulis.

Dirgantara mendekat dalam diam. Ia melihat apa yang sedang ditulis oleh Daeng Ratu. Itu adalah sebuah cerita. Kisah tentang pengepungan Somba Opu. Kisah tentang keberanian prajuritnya, tentang pengkhianatan, tentang kemenangan artileri yang mustahil, dan tentang seorang penasihat asing misterius yang datang dari balik kabut.

Ia tidak menulis sebuah laporan sejarah yang kaku. Ia menulis sebuah pau-pau, sebuah epos kepahlawanan. Ia sedang mengabadikan legenda itu, memastikan bahwa gema perlawanan mereka tidak akan pernah hilang ditelan waktu.

“Daeng,” panggil Dirgantara pelan.

Daeng Ratu mengangkat kepalanya. Matanya yang biasanya tajam kini tampak lelah, namun ada sebuah cahaya baru di dalamnya, cahaya seorang penjaga memori.

“Tuan Penasihat,” sapa Daeng Ratu dengan senyum tipis. “Aku hanya mencoba memastikan bahwa anak-cucu kita tidak akan pernah melupakan harga dari sebuah kemerdekaan.”

Lihat selengkapnya