Perjalanan kembali ke masa depan adalah sebuah kekerasan. Tidak ada lagi kelembutan atau rasa penasaran dari lompatan pertamanya. Kini, setiap lompatan terasa seperti sebuah robekan, sebuah proses di mana jiwanya ditarik paksa dari satu zaman, diseret melintasi koridor waktu yang dingin dan tak berbentuk, lalu dilemparkan begitu saja ke zaman yang lain. Gema dari pekikan perang di Somba Opu, bau mesiu, dan tatapan mata terakhir Daeng Ratu yang penuh pengertian, semuanya lenyap, digantikan oleh keheningan yang artifisial dan bau debu dari beton yang telah lama mati.
Dirgantara terwujud di tengah stasiun kereta maglev bawah tanah yang telah lama terlantar, surga sekaligus penjaranya di tahun 2070. Ia jatuh berlutut di atas peron yang retak, tubuhnya gemetar hebat menahan guncangan temporal. Luka di bahunya, yang hanya dibalut seadanya di abad ke-17, kembali terasa perih, sebuah denyutan tajam yang menjadi pengingat brutal akan realitas yang baru saja ia tinggalkan. Kujang Pusaka Naga terlepas dari genggamannya, menimbulkan suara denting yang nyaring di keheningan stasiun. Untuk beberapa saat, ia hanya bisa terengah-engah, membiarkan rasa sakit fisik dan kelelahan jiwa membanjiri dirinya.
Ia memejamkan mata, dan tiga wajah perempuan muncul di benaknya, menghantuinya. Wajah Ratna Laras, tegas dan penuh sumpah, di bawah cahaya bulan Trowulan. Wajah Zahira, cerdas dan penuh harapan, di bawah cahaya senja Palembang. Dan wajah Daeng Ratu, bijaksana dan penuh pengertian, di antara puing-puing Somba Opu. Tiga zaman, tiga aliansi, tiga kepingan hatinya yang kini tersebar di sepanjang garis waktu. Ia adalah seorang penjaga waktu yang telah kehilangan sebagian dari dirinya di setiap perhentian.
Namun, tidak ada waktu untuk meratapi nasib. Ia adalah seorang buronan. Ia adalah seorang pemberontak. Dan perangnya masih jauh dari usai. Dengan erangan yang tertahan, ia memaksa dirinya untuk bangkit. Ia memungut kembali kujang itu, gagang naganya terasa dingin di tangannya, dan membawanya ke pusat stasiun yang terlantar, tempat pos komando daruratnya berada. Peralatannya yang merupakan barang rakitan, panel-panel holografik yang retak, sebuah unit prosesor kuantum yang berisik, dan kabel-kabel fiber optik yang menjalar seperti akar-akar pohon artifisial menyala dengan cahaya biru yang redup saat ia mendekat.
Tugas pertamanya adalah yang paling penting: melihat konsekuensi dari kegagalannya. Ia harus tahu seberapa parah kerusakan yang telah ia timbulkan, atau seberapa besar harapan yang tanpa sengaja telah ia ciptakan. Ia menghubungkan antarmuka saraf di pelipisnya ke konsol rakitannya, merasakan sengatan dingin saat pikirannya terhubung dengan dunia digital yang sunyi.
Menyusup kembali ke jaringan data Lembaga adalah sebuah tarian yang berbahaya. Ia seperti seekor tikus yang mencoba mencuri makanan dari dapur seekor naga digital. Sistem pertahanan siber Lembaga adalah yang tercanggih di dunia, sebuah kecerdasan buatan yang mampu memproses triliunan skenario ancaman dalam hitungan detik. Namun, Dirgantara memiliki satu keuntungan: ia pernah menjadi bagian dari sistem itu. Ia tahu lorong-lorong belakangnya, celah-celah kecil di dalam protokol arsip lama yang tidak pernah ditambal karena dianggap tidak penting.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, di mana alarm intrusi digital nyaris berbunyi beberapa kali, ia berhasil. Sebuah celah kecil terbuka. Data baru, data garis waktu yang telah ditulis ulang oleh tindakannya di Gowa, mengalir seperti sungai cahaya biru ke dalam proyektor holografiknya yang berkedip-kedip.
Di tengah ruangan yang gelap, sebuah peta tiga dimensi dari Kepulauan Nusantara terbentuk. Warnanya didominasi oleh warna oranye yang menyakitkan, warna korporasi VOC. Ia melihatnya dengan hati yang berat. Kejatuhan Somba Opu tercatat dengan detail yang brutal. Sultan Hasanuddin, setelah melanjutkan perang gerilya selama beberapa tahun, akhirnya terpaksa menandatangani Perjanjian Bungaya. Gowa telah kehilangan kemerdekaan maritimnya. Monopoli VOC kini mencengkeram Nusantara dari ujung barat hingga ke timur. Rencana Lembaga, pada permukaannya, tampak berhasil.
Ia merasakan gelombang keputusasaan yang dingin. Semua pengorbanan, semua darah yang tumpah, semuanya sia-sia. Ia telah gagal. Ia hanya berhasil menunda yang tak terhindarkan.