Di dalam keheningan stasiun kereta bawah tanah yang terlantar, Dirgantara menemukan sebuah ritme baru, sebuah kehidupan yang tersembunyi di dalam perut Neo-Jakarta yang tak pernah tidur. Hari-harinya tidak lagi diukur dengan terbit dan terbenamnya matahari, melainkan dengan siklus dengungan unit prosesor kuantumnya yang berisik dan keheningan yang mengikutinya saat sistem mendingin. Ia adalah Robinson Crusoe di sebuah pulau waktu, dengan data sebagai satu-satunya samudra dan teknologi rakitan sebagai satu-satunya sekutunya.
Ia telah mengubah stasiun itu. Apa yang tadinya hanya sebuah tempat persembunyian darurat kini telah menjadi pusat saraf dari sebuah pemberontakan satu orang. Kabel-kabel fiber optik menjalar di sepanjang dinding yang berlumut seperti akar-akar pohon digital, menghubungkan panel-panel holografik yang ia selamatkan dari tempat pembuangan. Di tengah ruangan, peta garis waktu Nusantara kini berpendar secara permanen, sebuah galaksi biru yang dipenuhi oleh lautan oranye VOC dan bintik-bintik cahaya perlawanan yang baru ia sadari telah ia ciptakan.
Ia tidak lagi hanya seorang buronan yang melarikan diri. Ia telah menjadi seorang arsitek, seorang penanam benih. Strategi barunya adalah sebuah permainan catur yang dimainkan melintasi abad. Ia tidak lagi mencoba menghentikan badai besar yang diciptakan oleh Lembaga. Sebaliknya, ia mencoba mengubah arah angin di tempat-tempat lain, menciptakan badai-badai kecilnya sendiri yang ia harap suatu saat akan bertemu dan cukup kuat untuk menelan badai utama milik Lembaga.
Setiap siklus "kerja"-nya adalah sebuah penyelaman yang mendalam ke dalam arsip sejarah yang telah ia curi. Ia mencari titik-titik ungkit, momen-momen kecil dalam sejarah di mana satu dorongan kecil bisa menciptakan efek bola salju yang besar berabad-abad kemudian.
Suatu hari, ia fokus pada abad ke-15 di pesisir utara Jawa. Ia menemukan catatan tentang seorang kepala desa nelayan yang brilian namun miskin, yang desanya terus-menerus gagal panen garam karena teknik penguapan yang tidak efisien. Di garis waktu Lembaga, desa ini pada akhirnya akan terlilit utang pada seorang rentenir yang didukung oleh VOC, menjadi salah satu pos dagang pertama mereka. Dirgantara, dengan beberapa klik di konsolnya, menyiapkan sebuah paket data kecil. Bukan sebuah cetak biru teknologi canggih, melainkan hanya sebuah desain sederhana tentang cara membuat prisma pengumpul panas dari pecahan kaca dan cermin, sebuah teknik yang akan melipatgandakan efisiensi produksi garam. Ia mengenkripsi data itu ke dalam sebuah algoritma yang akan ia selundupkan ke dalam mimpi sang kepala desa melalui sebuah gelombang frekuensi rendah, sebuah "wahyu dari dewa laut". Sebuah benih kemandirian ekonomi.
Di hari lain, ia beralih ke pedalaman Sumatra di abad ke-18. Ia menemukan sebuah komunitas suku pedalaman yang perlawanannya terhadap ekspansi perkebunan Belanda selalu gagal karena mereka tidak pernah bisa bersatu. Dirgantara tidak memberi mereka senjata. Ia memberi mereka sebuah cerita. Ia mengambil pau-pau tentang kepahlawanan Sultan Hasanuddin yang datanya ia dapatkan dari Daeng Ratu, menerjemahkannya ke dalam dialek lokal, dan menyisipkannya ke dalam tradisi lisan mereka melalui seorang pedagang keliling yang rutenya ia manipulasi secara halus. Sebuah benih persatuan dan inspirasi perlawanan.
Ia bekerja dalam keheningan, sendirian, perannya telah berubah dari seorang aktor di atas panggung sejarah menjadi seorang sutradara bayangan. Namun, kesendirian itu adalah sebuah beban yang berat. Setiap kali ia melihat peta Nusantara di hadapannya, ia tidak hanya melihat data. Ia melihat wajah-wajah.
Saat ia merancang sebuah rute navigasi baru yang lebih aman bagi para pelaut Melayu untuk menghindari patroli VOC, ia teringat pada Zahira. Ia membayangkan bagaimana mata perempuan cerdas itu akan berbinar melihat efisiensi dari rute baru itu. Ia bertanya-tanya apakah mimpi Zahira tentang imperium dagang yang adil akhirnya terwujud, ataukah mimpinya telah hancur ditelan oleh keserakahan baru Sriwijaya. Rasa bersalah karena meninggalkannya masih terasa seperti sebuah jangkar di hatinya.
Saat ia mempelajari taktik-taktik perlawanan, tangannya tanpa sadar akan menggenggam Kujang Pusaka Naga yang selalu tergeletak di samping konsolnya. Ia teringat pada Ratna Laras, pada kekuatan sumpahnya, pada kehangatan tangannya yang gemetar saat menyerahkan pusaka itu. Apakah Ratna menjalani sisa hidupnya dengan damai? Apakah ia menemukan kebahagiaan? Pertanyaan-pertanyaan itu adalah hantu-hantu yang tak akan pernah terjawab, yang terus menemaninya di dalam stasiun yang sunyi ini.
Ia bahkan merindukan Daeng Ratu. Ia merindukan perdebatan intelektual mereka, cara pikiran mereka yang tajam saling beradu dan menciptakan sesuatu yang baru. Ia bertanya-tanya, apakah Daeng Ratu berhasil menyelesaikan tawarikhnya? Apakah cerita tentang sang ‘Cendekiawan dari Balik Kabut’ masih diceritakan pada anak-cucu di Makassar?
Ia adalah seorang dewa kecil yang kesepian, yang bisa melihat seluruh bentangan waktu, namun tidak bisa lagi menyentuh satu pun jiwa di dalamnya.
Pada suatu siklus kerja, saat ia sedang menganalisis riak-riak perlawanan baru yang muncul di Maluku, sebuah anomali terjadi di sistemnya.