Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir

Kingdenie
Chapter #31

Gema yang Menjawab

Di dalam keheningan stasiun kereta bawah tanah yang terlantar, Dirgantara berdiri membeku di hadapan tiga kalimat sederhana yang berpendar di panel holografiknya. Tiga kalimat yang telah menghancurkan seluruh realitasnya.

Kau tidak sendirian.

Selama berbulan-bulan, kesendirian telah menjadi satu-satunya kawannya yang setia, sebuah selimut dingin yang ia kenakan untuk melindungi dirinya dari dunia. Kini, selimut itu telah direnggut paksa, meninggalkannya telanjang dan rentan di hadapan sebuah kemungkinan yang mustahil.

Pikiran seorang agen langsung mengambil alih, menekan gelombang emosi yang campur aduk. Ini adalah jebakan. Itu adalah satu-satunya penjelasan yang logis. Sebuah taktik psikologis yang sangat canggih, dirancang oleh atasannya di Lembaga, perempuan yang mengenalnya lebih baik dari siapa pun. Ia tahu bahwa kesendirian adalah kelemahan terbesar Dirgantara. Ia pasti telah merancang umpan ini, umpan yang paling manis, untuk memancingnya keluar dari persembunyian.

Dengan tangan yang kini mantap dan dingin, Dirgantara mulai bekerja. Ia tidak akan menelan umpan itu mentah-mentah. Ia akan membedahnya, mencari kail yang tersembunyi di dalamnya. Ia memfokuskan seluruh kekuatan prosesor kuantum rakitannya untuk melacak balik sinyal dari paket data itu. Namun, semakin dalam ia menggali, semakin besar kebingungannya. Jejak sinyal itu tidak mengarah ke mana pun, dan enkripsinya terasa hidup, seolah beradaptasi setiap kali ia mencoba memecahkannya. Ini bukanlah teknologi Lembaga. Ini adalah sesuatu yang lain.

Setelah berjam-jam bekerja tanpa hasil, keputusasaan menjadi motivator yang kuat. Ia harus tahu. Ia harus mengambil risiko. Ia membuka sebuah saluran komunikasi baru, melapisinya dengan tingkat enkripsi tertinggi, dan mengirimkan satu balasan. Sebuah pertanyaan singkat yang mempertaruhkan segalanya.

Siapa kalian?

Ia bersiap untuk menunggu berjam-jam. Namun, balasan itu datang seketika. Dan itu bukanlah sebuah teks.

Panel holografik utamanya yang tadinya menampilkan peta Nusantara kini berkedip-kedip hebat. Alarm intrusi berbunyi nyaring, namun bukan alarm dari sistemnya sendiri. Ini adalah sebuah panggilan video yang masuk, yang secara paksa membobol sistem pertahanannya seolah terbuat dari kertas.

Dengan jantung yang berdebar kencang, Dirgantara menerima panggilan itu.

Gambar yang muncul penuh dengan statik dan distorsi, seolah sinyalnya menempuh jarak yang sangat, sangat jauh. Melalui gangguan visual itu, ia bisa melihat sebuah ruangan. Namun ruangan itu tidak seperti markas Lembaga yang putih dan steril. Dindingnya seolah terbuat dari bahan organik yang bercahaya seperti urat kayu yang dialiri cahaya rembulan. Di luarnya, melalui sebuah jendela besar, terlihat bukan gedung-gedung pencakar langit Neo-Jakarta, melainkan dedaunan raksasa dari flora yang tak ia kenali, bermandikan cahaya dari dua matahari kembar di langit yang berwarna nila.

Lalu, sebuah suara terdengar, terdistorsi oleh statik, namun tak salah lagi adalah suara seorang perempuan. “... koneksi tidak stabil … mencoba menstabilkan matriks temporal …”

Dirgantara berdiri membeku, Kujang Naga di tangannya terasa dingin seperti es. Pikirannya kosong. Semua kemungkinan, semua skenario, lenyap begitu saja.

Perlahan-lahan, gambar di hadapannya mulai menjadi jernih. Sosok seorang perempuan yang duduk di depan konsol transmisi itu mulai terlihat jelas.

Dan dunia Dirgantara pun runtuh untuk kedua kalinya.

Itu adalah wajah yang ia kenal. Wajah yang ia tinggalkan di antara puing-puing Somba Opu, di tengah keputusasaan dan harapan yang baru lahir. Namun, ini bukanlah Daeng Ratu yang sama. Wajah perempuan di layar itu lebih tua, mungkin telah melewati setengah baya. Garis-garis kebijaksanaan dan kelelahan terukir dalam di sekitar matanya yang jeli. Ada bekas luka tipis di atas alisnya yang tidak pernah ada sebelumnya, sebuah tanda dari pertempuran yang tak pernah Dirgantara saksikan. Rambutnya yang hitam kini dihiasi oleh beberapa helai uban perak yang berkilauan seperti benang mutiara. Namun, matanya … matanya masih sama. Jernih, cerdas, dan penuh dengan pemahaman yang seolah bisa menembus waktu.

Lihat selengkapnya