1
LELAKI DAN KEKUATANNYA
Bima
Jam di dinding menunjukan pukul 01.20 dini hari, mata Bima dari tadi bolak-balik menatap novel yang sedang dibaca dengan konsentrasi minim dan iringan jam dinding yang detaknya terdengar begitu nyaring di malam hening. Bima resah menunggu istrinya yang belum pulang kantor. Novelnya ditutup, Bima bangkit dari ranjangnya kemudian keluar kamar, ruangan rumah sepi, hanya suara mesin kulkas yang terdengar menarik tenaganya, membuka kamar anak-anaknya, dilihatnya anak-anak tidur pulas, Bima duduk di kursi tamu dan mengeluarkan rokoknya, asapnya membumbung yang terpantul cahaya lampu teras yang masuk melalui ventilasi. HP-nya sudah beberapa kali memanggil Riana – istrinya namun tak ada jawaban.
Bima kembali menghembuskan asap rokoknya, pikirannya campur aduk antara was-was dan curiga, was-was kalau Riana kenapa-kenapa dan curiga pada Riana dengan seseorang. Akhir-akhir ini Riana membuat Bima cemburu, sudah tiga bulan ini tepatnya. Bima curiga pada prilaku Riana yang sudah berumur 35 tahun mempunyai dua anak Perempuan. Yang membuat Bima bertanya-tanya soal tingkah Riana akhir-akhir ini, seperti ada yang lain cara Riana bertingkah, cara berdandan yang selalu nampak berlebihan dan jam pulang kantornya kian molor alias telat terus.
Tadinya selalu Bima yang pulang telat dari kantor, namun dua bulan ini Riana yang selalu terlambat, berbagai macam alasan sudah Riana kemukakan, dari mulai ada bos baru, pindah bagian, sampai harus menemui klien. Bima menerima semua alasannya, karena Bima tahu, Riana sudah bertahun-tahun kerja di Bank dengan berbagai kondisi banknya yang terseok-seok, dari krisis sampai banknya kembali berjaya. Bima tidak heran jika Riana adalah pekerja paling senior di banknya.
Tiba-tiba terdengar suara motor agak pelan lalu berhenti di halaman depan rumahnya, Bima beranjak dan berharap Riana yang datang, dibukanya gorden sedikit untuk memastikan apakah benar-benar Riana istrinya, benar, Bima meliahat Riana turun dari motor, lalu berbalik ke arah seorang lelaki yang memboncengnya, bukan seorang tukang ojek on line, Riana kemudian mendekatkan mukanya ke arah pengendara motor, si pengendara membuka kaca helmnya dan yang terjadi, membuat Bima ingin melempar sepatu yang teronggok di dekat kakinya, Riana mencium pengendara motor itu di bawah sorot lampu jalan, di depan halaman rumahnya. Bima menarik napas lalu menutup gordennya dan tubuhnya berbalik sambil menahan gejolak yang tiba-tiba saja bergemuruh seolah gelombang dahsyat akan segera tiba. Dada Bima seketika sakit dan jantung hatinya berdegup kencang tak karuan, matanya beberapa kali dikucek, memastikan bahwa dirinya tidak sedang bermimpi, bahkan rokok di tangannya tiba-tiba terlempar karena hampir habis dan sedikit membakar jari Bima yang kepanasan. Bima berusaha merubah wajah tegangnya lalu mengambil novelnya untuk berpura-pura bahwa dia sedang membaca, tidak, Bima lebih baik pindah ke meja makan dekat dapur.
Riana mengambil kunci rumah di tempat biasa, yaitu sebuah tempat rahasia yang hanya keluarga Bima yang tahu dimana kunci itu berada. Bima cepat mengambil posisi di kursi makan dengan wajah tegang yang diusahakan tenang, sialnya ketenangannya tak dapat menutupi cemburunya yang menggelora. Ketika kunci rumah dimasukan oleh Riana kemudian pintu terbuka, Riana melepas blazernya menyalahkan lampu dapur yang terhubung dengan meja makan, betapa kagetnya Riana karena Bima duduk dengan wajah berlipat-lipat dan sebatang rokok yang siap dinyalahkan lagi.
“Kamu bikin kaget aja, Mas!”
“Kamu yang bikin surprise buat aku, Rie” Suaranya datar.
Mata Riana menatap Bima, Ada debaran ketakutan yang segera Riana waspadai, Riana tak berpikir kalau Bima masih belum tidur dan menunggunya pulang, apakah Bima tahu apa yang diperbuat tadi? Bukan Riana namanya kalau tak punya banyak sandiwara yang telah dia buat beberapa episode selama ini, dengan tenang dia melontarkan pertanyaan lain.
“Mas, rumah yang kemarin kamu suka itu jadi dijual loh, kamu masih minat gak?”
Bima menggeleng lalu menyalahkan rokok dan menghispanya dengan tarikan napas berat mencoba tak mengalihkan pandangannya pada Riana. Hatinya bergemuruh dengan pertanyaan-pertanyaan yang ingin dia ajukan pada istrinya, sambil berpikir apakah harus malam ini dia ributkan? Hatinya baru saja terluka, rasa tidak percayanya pada Riana begitu mendesak, menggumpal bahkan membantu mendatangkan badai salju yang tiba-tiba saja menyergapnya.
“Aku tidak berminat membahas soal rumah malam ini, aku lebih ingin melihat langit mendung dan hujan badai segera turun untukku!”
Bima berdiri lalu berjalan keluar rumah meninggalkan Riana yang mencoba duduk mendekatinya. Riana diam, dia tahu ini pasti ada yang salah. Dari pada salah-salah lebih baik Riana diam dan membersihkan badannya, mengganti pakaiannya lalu tidur.
Kepada langit yang ternyata tidak mendung dan jauh dari badai, mata Bima memandang segala rupa tentang kegelapan, kepada angin yang sekali-sekali menyapa dengan lembut, dengan satu hembusan napas, Bima menyampaikan dengan lembut bahwa dirinya sedang gelisah karena cemburu. Setengah jam kemudian Bima bangkit dan masuk ke rumah dengan keheningan yang makin menyergapnya dalam balutan emosi. Bima tak mau masuk kamarnya karena melihat Riana tertidur di kasurnya, bukan tidak suka, tapi pada satu setengah jam lalu Riana mencium lelaki lain di depan rumahnya. Bima bertahan, lalu tidur di kursi tamu dengan mata kantuk tapi pikiran melayang-layang seperti layangan putus yang enggan jatuh.
Riana benar-benar sudah jatuh di alam mimpinya, pakaian tidurnya tersingkap dengan belahan buah dada yang tanpa bra. Bima yang tak dapat tidur akhirnya masuk ke kamar, pemandangan seorang istri dihadapannya menggoda nafsunya, namun Bima tak berani menyalurkan, ini bukan soal karena kasihan melihat istrinya lelah dan sudah tidur, ini soal amarahnya yang melihat istrinya mencium lelaki lain di depan rumahnya. Bima hanya terpaku, berdiri memandangi Riana dengan mata merah dan pikiran yang diracuni cemburu.