6
RAGU
Max
Max memasang mukanya dengan rasa kesal, menunduk dengan lesu dan memandang dengan malas pada dunianya. Max tak tahu lagi harus berkata apa pada istirnya, Tere, makin jauh melangkah meninggalkan jejak langkah yang berdarah, Tere tak perduli apakah cintanya masih ada atau tidak pada suaminya, satu yang ingin dia rasakan adalah kebebasan, Tere ingin bebas lepas dengan seleranya, Tere bosan dengan keadaan rumah tangganya, Tere bosan pada Max Sebastian, bosan pada usapan Max Sebastian dan bosan pada prinsip Max Sebastian yang seperti basi!
Max merasa bahwa dirinya adalah lelaki terindah dari sudut mana pun dipandangnya, fisiknya memungkinkan untuk meraih banyak perempuan, ucapannya memang romantis, gayanya luar biasa perlente dan necis, lalu apa yang dicari Tere? Max tidak seperti apa yang diucapkan Tere, bahwa Max kasar, bringas dan garang, tampangnya iya, tapi tidak aslinya. Max lembut, romantis, memanjakan Tere habis-habisan, dengan meminta Tere merawat tubuhnya di salon perawatan hanya demi Max menikmatinya, memang benar, Tere bak bidadari yang selalu dalam keadaan suci, tubuhnya dirawat habis-habisan, kulitnya mulus, hidungnya ditarik hingga nampak seperti hidung Jodie Foster – artis kesayangannya, rambutnya dicat coklat lembut, lehernya jenjang meski tidak tinggi, namun Tere punya daya tarik dibibirnya yang sensual.
Semua fasilitas merawat tubuh itu diberikan oleh Max untuk keindahan Tere, Max akan merasa bangga ketika temannya atau siapapun yang memuji istrinya, Max merasa bahwa dialah lelaki paling beruntung bisa menaklukkan perempuan sekelas Tere, yang memang datang dari keluarga berada. Max habis-habisan memuji Tere, dimana pun, bahkan ketika kerja pun Max minta video call hanya untuk melihat wajah istrinya yang setiap hari dia lihat, dan Max memuaskan Tere saban hari tanpa henti.
Penampilan penting buat Max, rambutnya selalu rapih meski beberapa berwarna putih tapi malah membuat Max seperti matang, kumis dan janggutnya yang bersatu menambah Max semakin jantan, efek fitness 5 hari seminggu membuat Max mempunyai bentuk tubuh aduhai di usia 40. Bibirnya merah seperti disulam padahal tidak, selama ini Max tak melakukan apa-apa terhadap badannya, Max hanya harus selalu tampil sempurna demi mengimbangi gaya Tere. Apalagi kalau ada undangan perkawinan, teman-teman Max dan Tere berkomentar, mereka bak selebriti yang patut masuk TV karena sama-sama meyakinkan dalam penampilan.
Masalahnya adalah Tere suka mencari masalah, bergaul dengan setiap kalangan yang menambah keberaniannya untuk bertindak, termasuk menjalin hubungan berbahaya dengan lelaki bernama Panji, dengan alasan bahwa Panji lebih menyamankan hatinya dan mampu menjadi lawan bicara yang enak, pendengar yang setia bahkan pemain cinta yang indah dengan tidak hanya sekedar memuaskan.
Berulang kali itu diungkapakan pada Max dan Max dengan sakit hati penuh menerima ucapan yang menyakiti hatinya, Max hanya diam ketika Tere mengucapkan itu, tak berani membantah dan tak berani menentang, ditelannya kata-kata itu, padahal ada banyak kata-kata yang bisa membunuh Tere kalau Max mau, tapi tidak, Max tak berani karena cintanya melebihi kebenciannya pada Tere. Yang ada, Max seperti ayam jantan yang bisanya cuma berkokok di pagi hari dan tak bersuara di siang hari, karena sibuk dengan cintanya yang justru membunuhnya secara perlahan.
Max tak punya teman untuk menceritakan soal kesedihannya, soal kesakithatiannya, soal hatinya yang menyimpan begitu banyak memakan air mata. Tidak ke keluarganya juga tidak ke pihak keluarga Tere, semua ditelan sendiri dan dia jalani sendiri, sialnya Max tak bisa mengungkapkan apa pun soal kesakitan ini, Max tipe yang memendam semuanya sendiri. Yang paling tak bisa ditutupinya soal perselingkuhan Tere kepada anak-anaknya, Max merasa bersalah ketika dia dan Tere ribut, Max tahu anak-anak mendengar dari kamar mereka, meski kedua anaknya pura-pura tak tahu ketika ditanya soal pertengkarannya. Kedua anaknya sepakat untuk menutup mulutnya.
Max khawatir terhadap anak-anaknya, jangan-jangan anak-anaknya menyimpan sesuatu yang mereka persiapkan untuk kedua orang tuanya. Max sangat khawatir. Namun tidak dengan Tere, dia sama sekali tak perduli anak-anaknya tahu atau tidak soal percekcokan mama dan papa-nya, Tere memilih tak mau tahu ketimbang menanyakan apakah mereka ada dipihak mamarnya atau papanya. Selama Tere dan kedua anaknya tak membicarakan apa pun bagi Tere, semua baik-baik saja.
Padahal hampir setiap weekend Tere tak berada di rumah, entah di mana, banyak alasan yang dia buat untuk menghindar dari Max, alasan kantor terutama yang menjadi andalannya, untuk membuat seribu alasan agar Tere bisa keluar rumah dan bertemu dengan Panji. Anak-anak tak mau menanyakan apa pun sama mamanya, mereka hanya mengangguk dan tak mau bicara, sedang Max bisanya hanya mendumal di belakang layar, tanpa berusaha menanyakan lebih detail acara apa di kantor dan dengan siapa.
Max menghubungi teman-teman kantor Tere dan menanyakan apakah benar ada acara kantor setiap weekend, teman-teman Tere dengan yakin mengatakan bahwa tak ada acara kantor dan itu hanya karangan Tere saja. Sudah sampai di situ saja Max mencari tahu, setelah itu Max hanya diam dan kesal sendiri, itulah bodohnya Max!
Kemudian Tere pulang ke rumah pada hari minggu sore, dia tak ke gereja di hari minggu bersama suami dan anak-anaknya, dengan santai dan tanpa rasa bersalah Tere tidur di rumah dengan posisi menyebalkan. Max hanya diam memandangi dengan hati yang demikian bodoh. Max tak mau lagi bertengkar, Max malu sama tetangga juga malu sama anak-anaknya, lebih baik Max diam memainkan Hp-nya dan berlagak semua aman-aman saja dan tak ada apa-apa.