TEARS OF A MAN

Bhina Wiriadinata
Chapter #7

#7 BULAN CINTA

7

BULAN CINTA

 

Bima

Riana diam, wajahnya ditundukan dengan setunduk-tunduknya, air matanya keluar dari berbagai sudut matanya, dadanya kembang-kempis menahan udara dan menghembuskannya dengan sesak, sekali-sekali tangannya mengusap hidungnya yang penuh dengan lendir, baju batik pemberian dari Bima ketika Riana menginginkan motif itu basah oleh air mata penyesalan. Riana telah berbohong mengatakan bertemu dengan Ningsih untuk mengurus sertipikat, nyatanya Riana berbohong karena tidak bertemu dengan Ningsih.

Bima masih berdiri dengan sikap lelaki yang tegar, Bima tidak berteriak-teriak, Bima hanya berbicara dengan kedalaman emosi yang setengah mati ditahan agar marahnya tak terdengar oleh anak-anaknya yang sengaja diminta tidur cepat. Bima berbicara dengan sangat pelan dan penuh penekanan, sehingga membuat Riana seperti makin merasa bersalah.

“Sekarang kamu bukan hanya pandai bicara Rie, kamu juga sekarang pandai bersandiwara! Kenapa kamu begitu tega memperlakukan aku seperti itu? Apa yang kamu cari di usia kamu yang akan memasuki 45 tahun? Apa!?”

Suara Bima hampir berdesis Bima sudah tak tahan lagi menahan emosinya yang rasanya ingin dia muntahkan dalam bentuk kekerasan.

“Kesenangan apa yang dapat kamu banggakan? Anak-anak sudah besar-besar, kamu sudah mulai tua begitu juga aku, apa yang kamu cari? Kamu hanya menumpahkan kesenanganmu dengan lelaki yang hanya jadi khayalanmu soal lelaki gagah dan kekar! Gak malu kamu? Aku bertahan dengan kamu karena aku mencitaimu setengah mati sampai sekarang! Aku tidak pernah memalingkan cintaku pada siapa pun! Meski godaanku berat dan hampir aku terlepas! Tapi tidak! Aku memilih kamu tetap di dalam hatiku, di dalam jiwaku dan di dalam ragaku! Aku tidak akan melepaskan cintaku padamu sedetik pun!......Lalu, kamu menghancurkannya begitu saja!”

Riana tak menjawab, Riana tetap diam. Riana menerima semua sangkaan Bima, Riana menerima tuduhan Bima karena memang itu benar adanya, meski belum terbukti, kekesalan dan kemarahan Bima memang beralasan. Riana harus tetap diam untuk menjaga ritme emosi Bima agar tak meledak dan membangunkan anak-anaknya, Riana hanya mengusap air matanya dan sekali-sekali menengadah membendung air matanya agar tak terus jatuh. Riana mengerti akan kemarahan Bima, mengerti sekali.

“Sekarang aku tidak akan perduli pada kehidupanmu, kamu mau melakukan apa pun! Terserah kamu!”

Kata pamungkas itu membuat Riana menyelesaikan air mata terakhirnya. Bima seperti biasa, akan keluar rumah, di teras menyalahkan rokoknya sambil menatap kolam ikan dengan gemericik air dan cahaya bulan yang jatuh di air kolam dengan bentuk yang bergelombang mengikuti bentuk air. Kata-katanya sudah habis, Bima lebih baik diam dan menikmati kesakithatiannya.

Ada bayangan yang kemudian menari-nari dibenaknya, bahkan menari-nari di depan matanya yang berjarak sangat dekat, bayangan itu seolah mengebiri rasa syahwatnya yang tidak rela, menorehkan ingatan yang tak mudah dienyahkan. Bayangan itu adalah ketika Riana berada di kamar hotel bersama si Joko Purwanto sedang bermain ‘kuda-kudaan’ !

Bima tak terima, ada rasa sangat sakit dan melukainya habis-habisan di hatinya. Sanggupkah Bima berdamai dengan bayangan menakutkan sekaligus menjijikan itu? Bagi Bima, meski hanya bayangan dengan asumsi dua hari Riana bertemu dengan Joko Purwanto di hotel, apa yang tidak harus dijadikan bayangan gelap tentang pertemuan itu? Adakah dua orang dewasa dengan beda kelamin bertemu di hotel tanpa ada hal penting, lalu tidak melakukan hal yang tidak terpuji? Mustahil! Dimana letak logikanya jika tak terjadi apa-apa? Apalagi ada rasa suka sama suka? Semakin dalam Bima merenungi, semakin Bima masuk ke dalam lembah yang bernama sakit hati dan pengkhianatan.

Ohh bulan! Adakah kau mengetahui kesakitan manusia macam Bima? Bulan yang perawan, gambarlah di pelataranmu tentang kebenaran jika itu memang harus dijabarkan, perangilah hawa nafsuku agar bisa menerima pasanganku dengan coretan hitam yang telah mendarat di tubuh Riana. Sanggupkah Bima menerimanya kembali meski dengan tertatih dan segudang penyesalan? Bulan, berada dalam balutanmu, ingin rasanya mengurai pedih ini menjadi bagian manusia pemaaf? Melupakan bayangan Riana dengan ‘kuda-kudaannya’.  Bulan! Sebarkanlah aroma pengkhianatan itu untukku, jadikan kekuatan atau kelemahan bagiku untuk memaafkan atau meninggalkannya.

Namun tidak semudah itu Bulan! Ini soal hati, soal rasa, soal jiwa dan soal kehormatan seorang lelaki yang harga dirinya sudah diinjak-injak oleh seorang perempuan yang bergelar istri, bergelar ratu rumah tangga yang selama 17 tahun membanggakan dirinya dan keluarganya, kini menghancurkan bahtera 17 tahun yang Bima jaga dengan setulus hati, dia pagari semua bentuk cinta murahan yang hampir setiap hari dia terima dari ranumnya para bunga yang bermekaran di musim semi.

Lihat selengkapnya