10
SI ABAH
Max, Bima & Dilan
Dilan sudah menunggu sejak pukul 8 pagi di tempat fitness, menunggu Max dan Bima yang positif akan ikut serta pergi ke rumah ‘Si Abah’ untuk misi masing-masing. Dilan akan bertanya soal penjulan tanah, Bima akan menanyakan ‘pengobatan’ yang kemarin yang merasa masih belum manjur, sedang Max ingin diyakini bahwa Tere-istrinya, sedang kena guna-guna dari lelaki selingkuhannya. Bima datang dengan Max dengan pakaian santai, mereka bertiga jelas bolos dari kantornya masing-masing hanya demi mendatangi ‘Si Abah’ yang akan menjadi andalan informasi secara linear.
Ini bukan soal mistik, mereka menanyakan masalah kepada orang macam ‘Si Abah’ adalah wajar, karena dunia yang seharusnya masuk diakal kadang harus tidak masuk diakal untuk dipercaya, percaya atau tidak, ada sebagian orang di dunia ini yang memang dianugerahi Tuhan dapat melakukan hal yang tak bisa dilakukan dengan nyata atau kasat mata. Memanfaatkan orang yang punya kelebihan dengan jalan yang tidak biasa tidak apa-apa, asal tetap memercayai ketentuan Allah, sah-sah saja.
Mereka sudah berkumpul dan segera pergi dalam satu mobil dengan satu tujuan dan berbeda masalah.
Perjalanan menuju ke rumah Si Abah membuat Max merasa nyaman, sudah lama tak melihat pemandangan alami, rasanya seperti sedang piknik ke alam yang jarang ditemui, ada rasa menggembirakan, entah karena masalahnya yang sedikit dilupakan atau karena mau menyelesaikan masalahnya? Yang pasti alasan kedua memang membuat Max sangat senang. Wajahnya berbinar-binar sambil sesekali agak bingung menyusun kata-katanya pada Si Abah, Max harus berterus terang mengungkapkan masalah keluarganya yang seharusnya tidak boleh semua orang tahu, namun untuk menyelesaikan masalah bukankah harus menceritakaknya. Max memandang dengan penuh takjub ke arah luar. Hamparan hutan-hutan kecil berkelompok, tidak rimbun membuat matanya serasa segar, hamparan ladang singkong yang berbaris rapih dengan rata, lalu ilalang-ilalang tumbuh sembarangan membuat keindahan tersendiri, daun-daunnya menjuntai-juntai ke tanah dan menghalangi pinggir jalan setapak, seperti nasib Max yang menjuntai-juntai meminta perlindungan.
Bima pun sama, sedang merangkai kata-kata, selama perkenalan dengan Max, Bima tak pernah bercerita pada Max tentang kisruh rumah tangganya, Bima bukan menyebunyikannya hanya memberi waktu saja pada Max untuk dapat mencurahkan kekisruhan rumah tangganya, Max juga tak pernah bertanya ke Bima tentang keadaan rumah tangganya, sekali pun Max bertanya Bima hanya menjawab baik-baik saja, padahal kesakitannya hampir sama dengan Max, lebih baik tidak usah mengemukakan apa pun jika bertemu dengan ‘Si Abah’, Bima akan memberikan peluang pada Max dan Dilan saja, kemudian Bima menulis di WAnya pada Dilan, Dilan menjawab dengan gambar cap jempol.
Satu jam menelusuri perjalanan, melewati segala macam tanah dan jalan berbatu juga berlubang, sampailah mereka pada suatu tempat yang begitu asing. Tanah merah terhampar dengan diapit sungai warna coklat karena airnya keruh, mengaliri persawahan dan kolam-kolam ikan yang berbentuk seperti lubang kawah. Mobil Dilan berhenti persis di dekat jembatan irigasi zaman orde baru yang masih dipakai dengan baik, mungkin irigasi inilah dulu yang disumbangkan oleh orde baru yang masih terpakai dengan sangat baik.
Dilan yang memimpin menuju ke rumah ‘Si Abah’. Max yang baru pertama kali memandangi sekitarnya dengan rasa lain. Ketiganya berjalan lalu beberapa penduduk desa yang melihat mereka seperti melihat orang-orang asing yang hendak piknik, Bima memakai celana jins dengan kaos dalam putih dan kemeja polos, Max membuka kemejanya, dia hanya menggunaka t-shirt warna putih membentuk badannya yang tegap dengan lengan besarnya, membuat Max semakin seperti raksasa berjalan dengan dua liliput Bima dan Dilan yang juga punya bertubuh mungil, ketiganya memang seperti orang kota yang penampilannya serasa sangat tidak sesuai dengan keberadaan desa dan orang-orang sekitarnya.
Rumah itu sangat sederhana, beralaskan keramik murahan, gorden sobek yang menggantung di jendela yang suram menari-nari ditiup angin lembut yang mengantarkan kesejukan, situasi rumah menampakan kesunyian, tanpa hiasan, hanya ada satu set kursi tamu dengan model ukiran murahan dan motif bunga-bunga yang norak, ada lemari kecil yang isinya alat-alat yang hampir tidak terpakai, keadaan lemari itu acak-acakan, beberapa lembar kertas berhamburan, selebihnya rumah itu tak ada apa-apanya, bahkan televisi pun tak nampak. Mereka bertiga dipersilahkan masuk oleh seorang perempuan dengan wajah cukup bersih dan putih, rambutnya diikat, perempuan itu yang mempersilahkan Dilan, Bima dan Max masuk ke rumah.
Kemudian air teh datang, masih agak panas namun harumnya menggoda ketiga tamu lelaki, ketika si perempuan itu mempersilahkan minum Bima, segera meraih gelasnya dan menyeruput teh dengan penuh kenikmatan, memang benar-benar nikmat, di siang hari yang masih masuk kategori pagi suasana pedesaan dengan kelembutnya angin, kehangatan air teh terasa seperti sebuah kenikmatan yang luar biasa.
Berjalanlah seorang lelaki tua dengan wajah keriput, berkopiah yang sudah memudar, berpakaian jas yang sudah usang, sarungnya warna hijau kotak-kotak yang tidak serasi, lelaki tua itu tersenyum, kemudian menatap wajah ketiga lelaki di depannya dengan penuh makna, senyumnya terus mengembang apalagi ketika menghembuskan asap rokoknya, lelaki tua itu seperti orang tua yang senang melihat banyak anak-anak datang ke rumahnya yang sederhana.