TEARS OF A MAN

Bhina Wiriadinata
Chapter #11

#11 EMPAT KALI

11

EMPAT KALI

 BIMA & MAX

Max memikirkan dirinya sendiri, berjalan paling belakang sambil menyusuri pinggir kali irigasi, Max berhenti di ujung jembatan irigasi di sebuah saung kayu yang butut, tempat orang berteduh. Max menghisap rokoknya, matanya memerah, dadanya turun naik, dengan segenap rasa dia menghembuskan napasnya dalam-dalam, di balik kaca mata hitamnya Max mengembangkan air mata. Hidungnya kembang-kempis dengan mulut yang selalu dia buka untuk menahan genangan air matanya agar tak tumpah.

Bima berbalik ketika menyadari Max tak mengikuti langkahnya, ditatap Max dalam jarak sekitar satu meter, Bima tak mau mengganggu, dari jarak itu Bima dapat melihat Max hanya diam sambil memainkan rokoknya dan tatapanya lurus ke depan, meski bola matanya terhalang oleh kaca mata hitamnya. Bima mendekat ke arah Max, setelah dekat Bima diam dan menepuk bahu Max yang besar.

“Ada sesuatu yang mengganjal di hati lo Max?”

Bima menatap tajam ke arah samping mata Max yang tersembunyi, dari sudut itu terlihat air mata itu mengalir sebutir, air mata yang dengan lambat turun di pipi Max lalu terhalang oleh kaca matanya, kemudian bergulir di area kaca mata, Max membiarkan air matanya yang cuma setetes kecil itu hilang tersapu angin sejuk semilir. Max terpukul, dan merasa bahwa apa yang diucapkan Si Abah itu adalah benar, bukan soal Si Abah itu penganut muslim, namun menurut pendapat Si Abah bahwa Tere memang seperti apa yang diucapkan si Abah. Tere, adalah perempuan yang berani dan memang nakal berpetualang, Tere memang mempunyai sifat amat keras kepala dan berani mengambil resiko dengan berbagai cara untuk menyenangkan dirinya, Max tahu betul siapa Tere namun Tere juga perempuan romantis seperti dirinya, Tere memang berani dan Max mencintainya setengah mati!

“Selama ini prasangka gue benar, gue ngerasa dibohongi terus-menerus oleh Tere – istri gue, tapi gue merasa kasihan sama Tere, karena ulah lelaki sialan itu!”

 Bima tersedak, tiba-tiba saja batuk yang tanpa akibat itu membuat sesak kerongkongannya, batuk yang amat sakit, Dilan sambil lari-lari membawa air mineral dan meminta Bima untuk meminumnya.

“Kenapa lo?”

“Gak, gak apa-apa…gue cuma salah nelen ludah aja!”

Max menangkap kebohongan dari Bima. Air mata Bima sampai keluar karena batuk, Dilan yang sudah sedikit tahu rahasia Bima tak memancing Bima untuk bercerita, Dilan hanya mengajak mereka untuk segera pulang karena hari mulai siang dan saatnya makan siang, nanti Dilan akan mengajak kedua lelaki itu makan di tempat favorit keluarganya. Mereka beranjak dari saung butut itu lalu masuk ke dalam mobil kemudian mobil bergerak meninggalkan tempat Si Abah, terlihat dari kejauhan ‘Si Abah’ masih berdiri di halaman rumah dengan pakaian amat tidak singkron, sambil tangannya memasukan amplop dari tiga orang tadi ke dalam saku bajunya,wajah Abah seperti aliran air surga dengan senyum damai dan tentram di usianya yang menginjak 78 tahun.

Makan siang di sebuah warung sunda dengan pesanan yang diatur oleh Dilan yang hapal menu apa saja yang nikmat di rumah makan ini, Max dan Bima memasrahkan pilihan makannya ke Dilan, meja berukuran hampir 2 meter penuh oleh makan, meski Bima protes karena terlalu banyak pesanan Dilan tak perduli, Dilan ingin kedua temannya yang sama bapak-bapaknya dengan dirinya tahu bahwa warung sunda ini sudah dia singgahi hampir tak terhingga olehnya, memang apa yang dibilang Dilan benar, masakannya luar bisa nikmat, hampir semuanya menggugah selera.

“Menurut lo berdua Si Abah itu bener gak ya?” Kata Dilan sambil menyuap sobekan ikan gurame bakar yang penuh dengan bumbu lalu dicocolkan ke sambal terasi yang aromanya tak seorang pun dapat menahannya untuk tidak suka.

“Kalau gue rasa sih bener, Si Abah tidak membuat kita percaya pada hal-hal yang di luar jangkauan kita, Si Abah memang punya sesuatu, dengan tampang seperti itu, gue sendiri gak nyangka dia bisa berhitung ala dirinya, Si Abah menggunakan logika dalam membaca pertandanya, bukan dengan menerawang. Satu hal yang gue tangkep dari Si Abah adalah, wajahnya tak seperti kebanyakna orang pinter yang menyeramkan, juga kata-katanya, luar biasa, dia memberikan informasinya tidak dengan sok tahu dan serta-merta, karena tahu siapa diri kita? Dia tetap membawa Tuhan untuk di kedepankan” Bima mencoba mengambil kesimpulannya

Lihat selengkapnya