TEARS OF A MAN

Bhina Wiriadinata
Chapter #16

#16 BERTENGKAR LAGI

16

BERTENGKAR LAGI

 

MAX

 

Bagus terkapar tak berdaya dengan muka pucat, pipi lebam, serta beberapa luka kecil di hidungnya, bahkan hidungnya nyaris berwarna merah dengan luka di ujung lubangnya yang banyak mengeluarkan cairan pembasmi nyamuk yang dia telan. Ya, Bagus mencoba meminum cairan pembasmi nyamuk untuk membunuh dirirnya yang kesepian selama dua hari. Max – papanya sedang di Balikpapan sudah empat hari, Tere – mamanya juga ikut-ikut tak ada di rumah dan entah kemana, Bagas – kakaknya dua hari ini tidak pulang, Bagas lupa pada adiknya yang ditinggal di rumah sendiri, Bagas pergi ke gunung bersama teman-temannya tanpa izin orang tuanya.

Bagus tak kuat menahan sendirian di rumah, dia pusing dan merasa tak dihiraukan oleh keluarganya, setelah menelopn Max, Bagus nekad meminum pembasmi nyamuk, untung Bima yang ditelepon Max segera datang dan Bagus dapat dibawa ke rumah sakit dan tertolong dengan selamat.

Max dengan langkah lebar-lebar, berwajah marah dan kesal minta ampun karena Tere masih tak mengangkat teleponnya. Ketika masuk di ruangan Bagus Max langsung memeluk Bagus, Max meminta maaf juga bertanya kenapa anaknya berbuat nekad seperti ini? Bagus masih 13 tahun, dari mana punya pikiran janggal seperti itu? Max tak habis percaya apa yang diperbuat anak bungsunya. Air mata Max mengalir, mukanya memerah menahan amarah, dia usap wajah Bagus dengan linangan air mata serta bibir yang sekuat tenaga menahan tangisnya. Seorang ayah mendapati anaknya berlaku seperti orang frustasi sangat memprihatinkan, siapa yang salah dengan semua ini? Orang tuanya? Ataukah anaknya sendiri?

Jelas orang tuanya, sudah berbulan-bulan mereka bertengkar tanpa tahu kapan berakhir, kemudian orang tua seenaknya meninggalkan anak-anaknya sendiri di rumah, apa yang dilakukan anak berumur 13 tahun? Mengambil jalan pintas yang tak pernah terpikirkan. Max benar-benar tak percaya akan apa yang dilakukan Bagus, Max merasa sudah menyekolahkan Bagus dan Bagas di tempat paling baik, sekolahnya mengajarkan agama begitu kuat, bahkan mengajarkan keimanan luar biasa, tapi kenapa Bagus bisa senekad ini?

Bagus hanya diam menatap papanya yang meneteskan air mata, Bagus ingin bicara banyak, bukan meminta maaf, Bagus ingin mengatakan bahwa dia benci sama papa dan mamanya, Bagus lebih baik mati dari pada sendiri di rumah, Bagus takut, Bagus benci dan Bagus malas bicara. Mata bagus menatap dengan tajam ke arah Max, mulutnya masih penuh oleh selang pernapasan yang dipasang untuk menyedot cairan itu. Bagus ingin mati! Max mengusap kening Bagus dan berbisik soal kasih sayangnya serta meminta maaf, meski tak didengar, suara hati anaknya pasti mendengar, Max tahu bahwa Bagus kecewa pada situasi rumah yang semakin hari semakin membuat dirinya ingin mati. Kalau pun kedua orang tuanya ada di rumah, mereka hanya bertengkar saja kerjanya, kalau tidak ada di rumah keduanya sangat Bagus rindukan, Bagus tak bisa bilang, Bagus bingung siapa yang hendak di peluk untuk dirindukannya.

Max bangkit, karena dokter akan memeriksa Bagus lagi, pengunjung tanpa terkecuali diharap keluar ruangan. Max memandang ke arah Bagas yang berdiri di ruang tunggu dengan wajah amat bersalah, Bagas kemudian menunduk dan menggigit jarinya, seperti seorang yang bersalah siap menerima hukuman, Max memegang pundak Bagas lalu berkata dengan pelan.

“Kenapa kamu gak jaga adikmu? Papa pikir kamu sudah besar, ternyata kamu juga masih kecil Bagas, lain kali kalu kamu gak sanggup jaga adikmu bilang papa ya?”

Bagas terhenyak, Bagas hanya bisa diam dan menundukkan kepalanya, Bagas tak mau saling menyalahkan, Bagas ambil rasa bersalahnya karena meninggalkan adiknya sendiri di rumah selama dua hari, seharusnya Bagas ada di rumah menjaga adiknya dan melindungi adiknya, Bagas akui dia ceroboh dan tak menyangka kalau Bagus-adiknya menenggak racun serangga hanya karena Bagus kesal dan kesepian.

“Aku minta maaf pa, aku yang salah..”

Diusapnya kepala Bagas, lalu Max mengalihkan pandangannya pada Bima yang dari tadi rupanya duduk di luar ruangan tanpa memberi kode, bahwa dia ada ada di situ. Max menghampiri Bima yang matanya kuyu karena ngantuk dan mengurus Bagus sejak tadi malam tanpa tidur.

“Terima kasih atas bantuannya Bim, gue gak tahu kalau gak ada lo…sekali lagi makasih Bro..”

Bima menganggukkan kepala, lalu pamitan ke Max karena hari sudah semakin siang dan dia belum pulang. Max menatap langkah Bima dari arah belakang, Max ingin tetap Bima ada di sini, agar Bima tahu bagaimana reaksi istrinya datang lalu Max akan menyerang Tere dengan amarahnya. Namun Bima lebih memilih menyingkir saja, Bima tak mau terlibat dalam pertengkaran Max dan Tere yang mungkin sebentar lagi akan terjadi.

Di menit berikutnya Tere datang dengan wajah cerah ber-make up tebal rambut digerai, seperti sehabis dicreambath, kaca mata hitam dan tas mahal ditenteng dengan sangat hati-hati, jalannya sedikit kencang memang, tapi Tere sangat menjaga auranya agar menampakakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Max langsung meraih lengan Tere dengan gemas, kata-katanya sedikit berbisik namun dengan emosi yang tinggi, Tere mencoba melepaskan pegangan Max yang keras di lengannya, namun Tere tak mampu, ingin rasanya Tere menjerit kalau bukan di rumah sakit, Tere benci kalau Max sudah bersikap seperti ini, mengancam dan temperamennya keluar.

Lihat selengkapnya