18
SESAAT DALAM PELUKAN
MAX
“Lima belas tahun, Re! Lima belas tahun! Masa kamu masih harus mempertanyakan bagaimana aku memperlakukan kamu? Selama ini apa yang aku lakukan ke kamu, Re? Apa yang kamu mau aku turuti, kurang apa aku ke kamu?”
“Max, aku heran deh! Berkali-kali aku bilang, kamu tidak respek ke aku, kamu terlalu kaku dan tak dapat mengimbangi apa yang menjadi kemauanku? Aku ingin bebas, bebas sebebas-bebsanya, ngerti? Bisa kamu fahami maksudku?”
“Gak ngerti? Apa maksud kamu?”
“Aduh Max! coba kamu ingat satu hal saja, kamu tahu tanggal berapa kamu menikah denganku? Lalu kemarin hari apa? Kamu lupa?”
“Aku tahu tanggal berapa kita menikah, Aku tahu tanggal berapa kamu ulang tahun, Aku tahu kemarin hari valentine terus kenapa?”
“Max, terus kamu lupa apa yang harus kamu lakukan ke aku? Sudah hampir dua tahun kamu tidak melakukan apa pun tentang tanggal-tanggal itu!”
“Re! apa yang harus aku lakukan dengan tanggal-tanggal itu? aku harus melakukan hal-hal seperti anak-anak ABG? Kita udah 40 tahun dan umur perkawinan kita sudah hampir 15 tahun? Masih penting acara-acara begitu?!”
“Penting!”
“Buat siapa?”
“Buat akulah, Max!”
Ini sudah keterlaluan, hal-hal sepele kini dijadikan alasan oleh Tere untuk menyalahkan Max, yang dianggap tak perduli pada hal-hal kecil yang Tere inginkan, apa urusannya dengan perselingkuhan yang Tere perbuat padanya?
“Kamu childis!”
“Itu bukan kekanak-kanakan, aku membutuhkan itu Max sebagai bukti perhatianmu padaku!”
“Tere, tiga hari kemarin kamu sakit kena gejala typus, aku ambilkan kamu makan, aku bawa kamu ke rumah sakit, aku rawat kamu sebaik yang aku bisa lakukan ke kamu, perhatian macam apa yang kamu inginkan?”