25
NAPAS TERAKHIR
BIMA
“Kalian tak usah takut, aku tidak akan membunuh kalian, aku tidak akan menyiksa kalian, aku tidak akan menuduh kalian berzina dan aku tidak akan membawa pulang istriku dari sini, Sandro, aku hanya ingin memastikan bahwa kalian benar-benar saling mencintai, kalian benar-benar saling menyayangi dan maaf, aku mungkin penghalang atas cinta kalian, mulai saat ini nikmatilah dan jalani apa yang kalian ingin jalani. Tidak usah menilai bagaimana perasaanku, tidak usah tanyakan bagaimana sakitku, tidak usah meminta maaf dan tidak usah menyusahkan orang lain, nikmatilah hidup kalian”
Gusti dengan tenang mengatakan kata-katanya, raut wajahnya datar saja tak membuat kerutan karena tangisan dan air mata yang bertubi-tubi keluar dari matanya, napasnya sedemikian rupa dia tahan agar suaranya tak bergetar, Gusti sudah siap dengan keadaan ini, sudah membentengi dirinya dengan hal yang tak terduga sekali pun, karena strategi yang dibuat berhasil menjerat pemangsa cintanya masuk dalam perangkapnya dengan mudah, Sandro dan Lestari dengan mudah masuk dalam jebakannya, artinya memang Gusti sudah akan mengira ini bakal terjadi.
“Gus…” kata Sandro dengan berani menyebut nama temannya, sahabatnya sekaligus ‘saudara’nya.
“Aku tidak pernah sedikit pun menganggap kamu adalah sainganku, aku tidak pernah sedikit pun mencurigai kamu, aku tidak pernah sedikit pun menuduh kamu, aku rasa aku yang bersalah karena tidak tahu cara membaca cinta pada seorang sahabat yang mencintai pasangan sahabatnya, aku tidak pernah mengerti bahwa sahabatku adalah juga mempunyai minat yang sama pada satu perempuan, aku tidak marah ke kamu San, aku akan tetap menganggapmu sahabat terbaikku karena sudah membuka mata hatiku, bahwa di dunia ini tak ada yang bisa disembunyikan, terima kasih…”
Sandro makin tak bisa apa-apa, Sandro tahu betul siapa Gusti, lelaki pendiam, pemaaf, bahkan lelaki paling sabar yang pernah ada, seharusnya dia malu bahwa telah merampas kebahagiaan sahabatnya, kalau hanya materi atau apa pun juga Sandro yakin Gusti akan mengerti, tapi ini soal hati? Soal pasangan jiwa? Soal rasa cinta, soal suami yang istrinya ‘ditiduri’ oleh sahabatnya. Adakah lelaki sekuat Gusti? Adakah lelaki pemberi maaf dengan kado paling buruk yang dia terima?
“Lestari, kamu boleh ambil hartamu di rumah besok, setelah itu aku mohon kamu tidak berada di rumah lagi, aku mengizinkan kamu tinggal di sini, soal Dito itu urusanku kamu tak berhak membawanya, soal rumah dan kendaraan aku akan mengurus untuk melunasinya, kamu senang-senanglah dengan Sandro dan nikmati hal yang tak bisa kamu dapatkan dari aku, sekali lagi aku minta maaf karena sudah mengagetkan kalian..”
Air mata itu masih turun, meski pun Gusti sudah membalikan tubunya dan menutup pintu rumah meski panggilan Lestari yang masih terdengar gagap, Lestari ingin melakukan apa saja agar Gusti mau memaafkan, tapi Lestari tahu, betapa sakit luar biasanya Gusti mendapati istrinya berada di rumah temannya untuk beberapa jam selama dua hari ini. Lestari dan Sandro bingung, mereka duduk di sofa tanpa saling bicara, Sandro hanya bisa mengambil rokoknya dan menghembuskan asapnya dengan jengkel. Jengkel pada dirinya dan menyesal adalah kata yang tak berguna sama sekali sekarang ini.
“Apa yang harus kita lakukan, San?”
“Kamu minta cerai lebih baik dari pada dia menceraikan kamu”
“Dito? Bagaimana?”