26
PRIVILEGE
BIMA
Sepulang dari Bogor, di rumah Bima hanya diam dan termangu, menekuri kolam ikan yang berkecipak tatkal ikan-ikan itu bermain-main dengan kawanannya, Bima memandang ke arah kolam yang diterangi oleh lampu taman, gemerincik air taman menambah irama malam kian syahdu, Bima tak perduli dengan masakan yang sudah disiapkan Riana, Bima sudah berjanji, selama hatinya masih sakit, sulit membuka pintu maaf buat Riana dan Riana masih belum bisa menutup hatinya juga bagi Joko Purwanto, Bima tak akan memakan masakan apa pun yang disiapkan Riana, percuma, Riana tak melakukan itu dengan sepenuh hati, Bima tak sudi, hati Riana bukan pada hati Bima lagi, dia sudah menduakan hatinya dengan lelaki lain, menyakitkan.
Pertemuan dengan Lesatri tadi siang di Bogor membuat Bima mengingat masa lalu yang buram tentang hidupnya dulu, ditinggal oleh kakaknya ketika Bima tak punya orang tua. Sungguh sesuatu yang sangat menyakitkan dan membuat Bima seolah terlempar pada masa suram dan kelabu yang mengharu-birukan hatinya, tanpa seorang pun tahu. Kecuali Riana yang tahu bahwa Gusti kakaknya meninggal karena sakit, penyebabnya tak pernah Bima ceritakan, meski penyakitnya lever, sementara kematian kedua orang tuanya Bima hanya mengatakan bahwa kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan di jalan tol Jagorawi, penyebanya apa Bima tak menceritakan, dia simpan sendiri tanpa Riana bertanya lagi.
Dito? Dimana Dito sekarang? Sudah sebesar apa anak itu? Bima tak tahu lagi kabarnya setelah kematian Gusti. Lesatri dan Sandro seperti menghilang di telan sangkakala, begitu pun Dito, bagaimana wajahnya sekarang? Miripkah dengan Gusti? Hanya Dito saudaranya, itu pun tak tahu di mana rimbanya. Haruskah Bima mencarinya? Kenapa silaturhami itu terputus? Bukankah menurut ajaran islam memutuskan silaturahmi adalah juga termasuk dosa besar? Ahh, kenapa dirinya tak berusaha mencari Dito? Paling tidak Dito tahu bahwa dia adalah anak Gusti Wardhana kakaknya, bukan Sandro yang telah merebut ibunya dari bapaknya. Tadi siang yang bersama dengan Lestari bukan Sandro? Siapakah lelaki berpenampilan seperti ustad itu? berjanggut, berpeci putih dengan pakaian serba putih seolah orang arab datang ke Indonesia? Siapakah dia?
Pertanyaan itu makin membuat penasaran Bima, dia harus mencari tahu, dan harus memperkenal Dito pada Zahwa dan Zahra sebagai saudara sepupunya. 17 tahun Dito tak pernah bertemu dengan saudara dari ayahnya, begitu pun Bima, tak pernah bertemu dengn Dito. Rindunya kemudian meletup-letup, Bima kangen sekali dengan Dito. Malam makin naik di tengah, Bima tak jua beranjak dari lamunannya tentang masa lalu, Bima menghabiskan berbatang-batang rokok dan menyimpan nikotin sebanyak yang dia hisap.
‘Bima, besok gw minta lo ketemu gw! Tolong gw Bim, pls!!’ WA itu dibaca Bima dengan malas, dari Max yang juga sudah lama tak menemuinya. Bima tak membalas, hanya membaca lalu menutup ponselnya. Bima sudah tak berhasrat lagi membahas perselingkuhan istri Max, sudah terlalu banyak bagi Bima mendengar dan mengalami masalah selingkuh yang ujung-ujungnya seperti penyakit pencabut nyawa.
Dari orang tuanya, kakaknya, dirinya sekarang, penyakit selingkuh itu seperti penyakit kutukan bagi keluarganya, kadang Bima bertanya pada Tuhan, mengapa selingkuh menjadi sebuah jalan untuk mengambil nyawa keluarganya? Mengapa Tuhan memberi cobaan pada keluarganya tentang selingkuh? Apa hikmah yang bisa diambil dari situ? Nyatanya dirinya yang sudah mencoba tak mau menikah dulu, kini seolah dihadapkan pada masalah yang sama? Tidak adakah hal lain buat Tuhan memberi cobaan dengan cara lain? Ahh Bima berlebihan, seolah cobaan lain akan mudah dihadapinya, gitu? Tak ada yang mudah bagi manusia menghadapi cobaan, yang sulit adalah menerima cobaan itu dan menyerahkannya pada Tuhan.
‘Bim, jawab dong!!’
Sekali lagi WA dari Max mengganggu konsentrasinya melamun, ingin rasanya bilang pada Max bahwa dirinya sudah muak mendengar cerita Max, tapi Bima tak bisa, bagi Bima, Max adalah gambaran seorang Gusti Wardhana yang sedang dalam kesulitan menghadapi kisruh rumah tangganya yang tak tahu harus bagaimana? Max seumpama Gusti pada saat itu, Bima tak kuasa menolak dan tak bisa mengabaikan ketika Max meminta pertolongannya dalam bentuk kata-kata, karena Max selalu kalah berkomunikasi dengan Tere.
‘Iya ntar abis pulang kantor gw ke tempat biasa!’
Bima datang dengan wajah kuyu, semalam dia tak bisa tidur hingga jam 3 pagi, jam 5 dia harus bangun lagi mengejar kemacetan Jakarta yang kian menggila, langsung kerja dengan deadline yang tak bisa diputus, syukurnya kerjaannya selesai di jam 18.30, langsung ke tempat Max.
“Ada apa lagi?”
Max hanya memandangi Bima dengan pandangan yang tak biasa, wajahnya antara duka dan senang, sulit digambarkan, yang bisa ditangkap adalah wajah sangarnya yang tampan dengan kumis dan janggut menyatu, bibirnya sedikit memerah dan giginya yang berbaris rapih. Max terus menatap tajam ke arah Bima, sejenak Bima sedikit serba salah, kali ini tatapan Max seperti nafsu yang tertahan lama kemudian mendapat sesuatu yang diinginkan.