29
BERADU AIR MATA
BIMA
Tak ada lelaki di dunia mana pun yang tidak meneteskan air mata tatkala melepas sesuatu yang paling berharga dari dirinya, tak ada lelaki di dunia mana pun yang mungkin bisa bersikap seperti Bima yang dengan ikhlas melepaskan perempuan yang dicintainya diambil oleh lelaki sebangsanya tanpa meneteskan air mata. Mungkin Bima adalah lelaki paling sial, sekaligus paling lemah yang tak bisa mempertahankan cintanya demi kebahagiannya untuk dirinya dan untuk keluarganya, mungkin hanya Bima-lah lelaki paling bodoh yang mau saja melepaskan istrinya hanya karena ada orang yang jauh menicntainya. Adakah lelaki seperti itu?
Air mata Bima mengembang memenuhi kelopak matanya, kemudian menetes perlahan menyusuri pipinya yang gemuk lalu terhenti di kumisnya yang sudah tidak dia cukur berminggu-minggu, Bima hanya bisa diam dan menatap malam tanpa bulan. Begitu banyak hal yang harus dia alami, semuanya bernada kesakitan, guyuran cobaan yang diberikan Tuhan padanya membuat Bima semakin terperosok ke jurang nestafa yang teramat pilu. Semua secara slide tergambar di depan matanya yang masih mengalirkan air mata.
Bima tak dapat lagi berusaha semampunya, kini saatnya dia harus melepas semua bebannya yang dia pikul selama ini, Riana harus dengan rela dan ikhlas dilepaskan, meski segala doa dan permohonan telah dipanjatkan, namun Tuhan tidak mengabulkannya tidak berpihak padanya, tak apa, dia terima apa pun keputusan Tuhan untuknya, mungkin dengan cara seperti ini, Bima memberikan cintanya pada Riana untuk berbahagia dengan orang lain.
“Aku haru berkata apa ke kamu, Mas?”
Bima menatap wajah Riana yang dari tadi berdiri mematung di belakang Bima yang duduk di kursi taman yang kecil. Bima menelan ludahnya lalu membasuh air matanya, ditatapnya Riana dengan rasa yang lain, Bima menarik napasnya dengan rasa hampir putus di tengah jalan.
“Tak ada yang perlu kamu katakan Riana, aku mengikhlaskannya, berbahagialah denganya, nikmati sisa hidupmu dan biarkan aku dan anak-anak pergi, nikmati hidupmu…”
“Mas…” Riana bersimbuh, memegang lengan Bima yang berbulu halus, mendekapnya lalu air mata Riana terasa membasahi lengan Bima, pipi Riana membuat hasrat Bima tiba-tiba saja bergulir, namun Bima dengan cepat mengenyahkannya, bahkan menarik lengannya secara perlahan.
“Seandainya kamu merasa rindu pada anak-anak, kamu boleh datang ke rumah ini kapan pun, asal sendiri, maaf Riana aku tidak bisa memberikan apa-apa selain mengorbankan cintaku ke kamu….”
“Mas, aku tidak minta apa pun ke kamu, aku hanya akan merasa kehilangan…”
Bima diam, meski kata-kata itu serius namun Bima merasakan lain, seolah kata-kata itu pisau yang siap mengiris-iris hatinya. ‘Hanya’? Hanya merasa kehilangan? Itu saja Riana? Tak ada perasaan lain lagi? Riana benar-benar telah melepas semua rasanya pada Bima, bukan hanya pada Bima, sama anak-anak pun hanya merasa kehilangan? Sakit luar biasa.