31
BANDUNG
BIMA DAN MAX
Pemandangan dari lantai 15 sebuah hotel bintang 5 di Bandung membuat mata takjub, dengan panorama indah gunung-gunung dari kejauhan seolah mengangkangi kota Bandung dengan buas, gambaran lekukannya seolah menjaga kota Bandung dari sangkakala, lampu kelap-kelip, menambah suasana seolah berada dalam genggaman keindahan yang membius romansa asmara. Bandung memang penuh dengan cerita cinta, tentang keindahan, tentang keromantisan. Tak ada yang tak suka dengan kota Bandung, selain mereka yang punya masalah dengan Bandung, masalah karena putusnya hubungan dengan kekasih. Bandung masih dibilang kota tujuan asmara, karena begitu banyak lika-liku jalannya penuh dengan nostalgia para pecinta yang menemukan jodohnya di kota itu.
Masih dari Bandung, Max berdiri tepat di dinding kamar hotel dekat jendela yang terbuka gordennya, dengan memakai kaos dalam warna putih dan celana selutut warna coklat muda, Max gelisah menunggu Bima yang katanya akan datang sehari setelah Max berada di hotel pilihan Dilan yang sukses menjual tanahnya lalu memberi kartu privilege menginap di hotel bintang lima pada Max dan Bima. Max sudah tak mau lagi bertemu dengan Tere, makanya dia lebih cepat datang ke Bandung dibanding Bima, sementara Bima harus mengurus anak-anak dulu dan menunggu Bi Narsih datang ke rumah guna menemani kedua anak gadisnya, Riana sudah tak di rumah selama seminggu ini, entah di mana, Bima tak perduli.
Semalam Max, merenungi nasibnya seorang diri, keputusannya menceraikan Tere sudah merupakan keputusan paling akhir, Max lalu berangkat ke Bandung sambil menunggu panggilan pengadilan yang katanya 2 minggu ke depan, Max mangajukan cuti kerja selama seminggu, dengan menggunakan kartu privilege dari Dilan, lalu mengontek Bima untuk pergi juga. Ada sesuatu yang membuat hatinya bahagia ketika akan pergi ke Bandung, sesuatu yang tak pernah dia rasakan sebelumnya, sesuatu yang aneh yang dirasakan pada saat Bima menyetujui memakai kartu Privilege itu bersama.
Enam bulan dia bergaul dengan Bima, enam bulan dia mencurahkan semua keluh-kesahnya, enam bulan pula Bima tahu siapa dirinya, tak ada lagi yang disembunyikan dari Max untuk Bima, semua cerita sedih dan gembiranya telah habis dia ceritakan, apalagi soal pekerjaannya, Bima sudah tahu, Max merasa tak ada lagi penghalang ketika menumpahkan semua isi hatinya pada Bima, lama-lama makin ke sini, Bima seolah memberikan ruang paling nyaman buat Max, Bima seperti seorang saudara tua yang dia tidak punya, Bima seperti punya banyak kata sakti yang membuat Max menurut, Max hampir ingin memeluk Bima pada saat dirinya benar-benar sakit hati oleh Tere. Max merasa Bima adalah seorang bijaksana yang tangguh.
Terlepas dari masalah Bima yang pada akhirnya Max tahu bahwa Bima juga mempunyai masalah perselingkuhan istrinya, pada saat Bima menceritakan kisruh rumah tangganya Max merasa, Bima begitu hebat menyimpan rasanya yang pahit, sementara Bima sendiri harus memberikan petuah dengan kata-kata sakti pada Max. Max memuji Bima dengan segala kesabarannya. Bagi Max, Bima adalah empu dari keluh-kesah.
Sekarang Max berada di Bandung, sehari rasanya seperti menunggu lebaran tahun depan yang lama. Max ingin mengatakan pada Bima bahwa dirinya membutuhkannya. Max yakin, Bima ada rasa padanya, dari kata-katanya yang selalu bilang, ‘gue kangen Max ama lo’ Bima seperti menyimpan sesuatu padanya. Max selalu memikirkan kata-kata Bima soal itu, kenapa Bima selalu bilang ‘kangen’, selalu bilang ‘ganteng’, selalu bilang sirik melihat badan Max yang besar, bahkan pernah sekali waktu Bima bilang ‘Max ingin rasanya memeluk lo’. Max memikirkan kata-kata itu, menyimpannya sebagai sesuatu yang aneh, namun kemudian kata-kata itu seperti mambuka mata Max, mungkinkah Bima menyukainya?
Namun begitu Max tak pernah mau berani membahas kata-kata itu, Max membiarkan kata-kata itu berseliweran saja, sampai pada akhirnya Max meyakini bahwa dirinya pun ternyata punya rasa kangen, dan kata-kata mengagumi Bima yang tak pernah dia ucapkan. Mungkinkah ini tanda-tanda ketidaknormalan? Ahh Max tak perduli, kalau pun itu tidak normal, yang pasti ini sesuatu yang membahagiakan. Ya bahagia, itu yang dirasaknnya akhir-akhir ini.
Di hotel ini, di Bandung ini, Max akan mengungkapkannya pada Bima bahwa dirinya sudah tidak bisa lagi bilang tidak kangen, Max akan membalas kangen Bima di sini, Max akan menyatakan hatinya telah terpaut olah Bima. Max telah mencoba berkali-kali bahwa ini hanya pikirannya saja bukan sesuatu yang harus diungkapkan, Max sudah berpikir beribu-ribu kali untuk itu, sampai akhirnya pada satu keputusan yang dia yakini kebenarannya, bahwa Bima juga pasti demikian adanya. Bayangkan, berbulan-bulan Max dan Bima tak merasakan lagi kehangatan seorang perempuan, berbulan-bulan mereka tak lagi mendapat pelukan perempuan, karena perempuan-perempuan mereka dipeluk lelaki lain, kebetulan Max dan Bima bukan type lelaki yang suka menyalurkan hasrat ke perempuan lain, mereka terlalu suci memberikan hasratnya pada perempuan lain.
Atas berbagai kesimpulan itu, Max yakin bahwa dirinya dan Bima sama-sama membutuhkan sesuatu, Max tidak tahu harus bagaimana memulainya nanti. Paling tidak Max akan mengungkapkan rasanya, itu saja dulu, atau Max akan nekad memeluk Bima dengan rasa rindu yang kebangetan? Ahh Max tak sabar untuk itu. sekarang masih jam 8 malam di hotel, sendirian, sedang Bima baru besok tiba di sini, ada baiknya Max memutar kembali memorinya dan mencari kata-kata yang telah diucapkan Bima soal kekaguman pada dirinya. Max GR!
Jam berlalu dengan lambat, hari makin gelap, namun kota Bandung tetap menyala, Max sengaja tak menutup gordennya, Max memandang ke arah luar dengan nikmat, kakinya diselonjorkan ke kursi satunya sementara matanya asyik memandang ke arah luar dan pikirannya pada Bima serta wajah Bima yang menari-nari dihadapnnya, kemudian Max senyum sendiri ditambah gelisah, lambat laun matanya terpejam melupakan khayalannya.