TEARS OF A MAN

Bhina Wiriadinata
Chapter #35

#35 DARAH DALAM SATU KAMAR

35

DARAH DALAM SATU KAMAR

 

BIMA DAN MAX

Bima menatap dengan kaget benda yang baru saja dia lihat seumur hidupnya secara langsung, sebuah pistol entah kaliber berapa menempel persis di samping pelipis kanannya, pistol itu terasa dingin, tatapan Bima lurus ke depan cermin dengan mata yang selalu bergetar, bibirnya tak dapat dia tutup, Bima masih tak percaya bahwa pistol itu nyata, wajahnya menegang setangah mati, kakinya lemas, darahnya seakan berhenti menunggu reaksi selanjutnya, hanya air bekas cuci muka yang terus menetes yang belum sempat dia kibaskan, suara kran air sedang mengsisi bath tab membuat suara apa pun akan hancur terdengarnya, Bima diam tak bergerak sama sekali.

Bima berpikir, bisakah dia menepis pistol itu kemudian menghajar lelaki yang sedang menodongkan pistol itu ke pelispisnya? Sehebat apa ilmu bela diri yang dia kuasai untuk menghindari kecepatan peluru yang akan menmbus kepalanya, mampukah Bima melawan? Lampu di atas wastafe membuat wajahnya seperti dalam keadaan mati, pucat dengan napas yang tak bisa dia hirup. Bima hanya diam dan menatap tajam ke arah cermin.

“Ada apa sebenanrya denganmu Max?”

Dengan gemetar Bima menanyakan hal itu ke Max yang sekarang sebagian wajahnya nampak di cermin dengan wajah merah, mata nyalang dan bibir bergetar, Max tak mengeluarkan kata-kata, dia dengan tegang memegang pistol itu, hanya dengan sekali tarik saja pistol itu akan menghancurkan otak Bima dan matilah Bima. Soal mati soal kedua, Bima hanya ingin tahu kenpa Max menembak dirinya? Max tak menjawab, lalu.

DORRR!!!!

Bima jatuh tersangkut plastik curtrain, kemudian copot, kepalanya membentur sisi bath tab, kemudian terpuruk ke arah dinding dan terdengar suara gemelatak di kepala Bima. Bima membayangakan wajah Gusti yang sedang sekarat menunggu ajal, Gusti mengap-mengap, menarik sesuatu yang berat dari kerongkongannya, lalu dengan satu tarikan napas nyawa Gusti hilang, kemudian Bima membayangkan wajah ibu dan bapaknya yang menari-nari sambil menggapai–gapai Bima kecil, mereka tersenyum mengajak Bima berlari, lalu hadirlah wajah anak-anaknya, bayangan Zahwa dan Zahra yang sedang bernyanyi lagu kesenangan mereka, Bima yang ada didekat k tak diperdulikan, wajah Riana sekelabat lewat, dada Bima sesak, sakit dan kepalanya seperti terkena benda tumpul yang dapat menghancurkan otaknya seketika, Bima memejamkan matanya, lalu dengan cepat Bima mengucapkan ‘Laillahaillah air mata mata Bima keluar,menetes di ujung ajalnya. Darah memuncrat ke dinding, berceceran kemana-mana kemudian sepi, hanya bunyi kran air yang masih bersuara dengan air yang sudah penuh. Bima yang dalam keadaan telanjang menghembuskan napasnya dengan sekali tembakan mematikan, wajah Bima seperti bertanya, matanya tertutup, mulutnya sedikit terbuka, kemudian darah di mana-mana.

Max menurunkan tangannya dengan cipratan darah di lengannya, kemudian Max menatap wajahnya sendiri di cermin, sebentar kemudian, dia menyimpan pistol itu, membuka kaosnya, membuka celananya, Max bertelanjang seperti Bima yang hendak mandi. Kembali Max mengambil pistolnya, lalu dia menatap wajahnya dan berkata dalam hati.

‘aku malu Bima, aku kira kamu punyai rasa seperti aku merasakan sesuatu ke          kamu,

aku malu Bima, aku mencintaimu namun kamu tidak,

Lihat selengkapnya