Chapter #1 Penjara Gunung
Mei tidak bisa membantah, atau mendebat untuk sekedar tidak mempercayai perkataan Yueyin, ibunya. Ia selalu merasakan perbedaaan dari apa yang selalu dikeluhkesahkan ibunya disertai nada kebencian. Menurutnya Salim itu ayah yang baik, ia begitu menyayanginya. Selalu memenuhi apapun keinginannya, kecuali dua hal, memintanya tinggal atau mengajaknya mengunjungi tempat tinggalnya.
“Jangan pedulikan ayahmu” kata Yueyin bersungut-sungut kesal tidak lama setelah Mei kembali dari mengantar ayahnya pulang hingga ke pinggiran sungai.
“Ayah tersayangmu itu tak akan pernah membawamu kemana-mana. Jangan pernah bermimpi!. Dia sudah mengkhianati kita, membuangmu dari rumah besarnya, karena kamu aib mereka!.”
Hidup gadis itu memang tidak pernah bisa lepas dari kurungan gunung, hutan, jurang, dan sungai di sisi timur rumah yang menghadap matahari, hingga waktu yang ia sendiri tidak tahu entah sampai kapan, seperti hukuman tanpa batas waktu, mungkin sampai mati.
Di tahun keenambelasnya pun, ia masih terkurung disana karena kesalahan masa lalu yang tidak pernah dilakukannya!. Ia menyadari sebutan penjara itu, ketika mendengar Yueyin, ibunya ribut karena merasa dibuang dari semua kehidupan normal, yang pernah menjadi haknya, setelah kerusuhan melemparnya ke titik paling rendah dalam hidupnya.
Hamparan padang rumput di lereng pinggiran jurang itu luas sekali. Meilani--Mei yang berdiri di atas tumpukan kayu bakar dari kayu pinus di batas pagar rumah paling tinggi, bisa melihat punggung bukit di kejauhan diselimuti rumput grinting berdaun lebar yang berkilau dipagi hari dengan pucuk dipenuhi tetes embun. Diantara kaki pohon-pohon randu muda yang berjajar rapat.
Cahaya mentari yang lembut menerobos masuk dari celah dahan cemara, menelusup masuk hingga menghangatkan pori-pori wajahnya yang bercahaya. Keringat menetes, sudah enam kali Mei bolak-balik tidak sabar menunggu burung-burung pipit berhamburan dari ilalang, pertanda Salim datang.
Hari Sabtu, minggu kedua dan keempat, adalah hari kunjungan Salim yang paling ditunggu Mei. Laki-laki yang selalu Mei sebut sebagai ayah kesayangan, padahal ia juga yang telah menjebloskannya ke penjara, tempat Mei dan Yueyin-ibunya berada sekarang ini.
Mei sudah berusia dua belas tahun saat pertama kali mendengar ibunya, selalu berteriak menyebut rumah mereka sebagai penjara saat bersungut-sungut kesal, apalagi saat alzeimer-nya kumat, tapi Mei tidak pernah tahu mengapa ibunya selalu memaki dengan umpatan begitu.
Kulit wajah Yueyin akan memerah seperti kerasukan setan tanpa sebab. Tak ada angin, tak ada hujan, begitu juga sesaat kemudian tiba-tiba marahnya mereda dan hilang, pertanda rohnya kembali, begitu selesai memuntahkan sumpah serapahnya.
Mei bahkan tidak paham saat Yueyin tanpa sadar selalu berteriak, “Gara-gara Eneng haram!, aku dipenjara!”, tapi saat dilihatnya Mei menangis ketakutan, Yueyin segera memeluknya, agar ketakutan Mei hilang dan baru merasa lega jika melihat Mei tersenyum, karena bagaimanapun Mei harta satu-satunya yang tersisa.
Ketika itu, Mei belum mengerti. Dia tidak tahu mengapa sebutan Eneng—panggilan kesayangan gadis kecil di kampungnya, yang biasanya terdengar manis untuk gadis kecil sepertinya, tapi terasa aneh kedengaran ditelinga karena cara Yueyin menyebutkannya seperti dengan perasaan jengah, marah dan benci.
Mungkin bukan sebutan enengnya-nya yang salah, tapi sesuatu yang lain yang membuat Yueyin, ibunya begitu membenci kata itu seolah-olah sesuatu yang menjijikkan. Sesuatu yang menjadi kata makian ibunya jika sedang marah besar, sesuatu seperti aib terkutuk yang harus dibuang jauh-jauh dari rumah.
Nantinya, ketika ia telah sedikit dewasa barulah mengerti. Cara Yueyin mengucapkan kata itulah—yang lebih seperti kegeraman—yang membuat Mei tersengat. Dia baru mengerti apa maksud Yueyin, bahwa Si Eneng haram, ternyata dimaksudkan Yueyin, bahwa, Mei adalah anak dari masa lalu yang tidak akan pernah mendapatkan hak seperti didapatkan anak lain.
Tidak akan mendapatkan penerimaan, cinta, dari keluarga besar ayahnya. Bahkan kelak, dia hanya akan bisa mewarisi nama yang berasal dari ibunya, Yueyin Magdalena- yang juga biasa dipanggil "Mei" oleh suaminya Salim--Yu-e-yin-Sinar bulan, harapan yang tinggi yang nasibnya kini kelam meredup dan hanya menyisakan satu-satunya harapan Mei, bukan dari Salim Wijaya--Liem laki-laki yang selalu disebut Mei sebagai ayah!.
Betapapun aneh hubungan itu, tapi cara Salim memanggil Mei putrinya terasa menenangkan di telinga Mei. Apalagi Salim selalu memilih nada paling lembut saat menyebut Neng--panggilan sayangnya itu.
Gadis kecilnya itu beda, ia tidak mewarisi sifat Yueyin yang keras. Ia lembut tapi berhati kokoh, sehingga membuat Salim selalu merasa terpesona dan selalu diliputi kerinduan padanya. Itulah mengapa Mei merasakan perbedaan mencolok dari cara Salim memanggilnya daripada ibunya sendiri. Rasanya seperti langit dan bumi!.
***
Alih-alih duduk manis menunggu diundakan kayu yang khusus disediakan Salim, agar tidak bolak-balik ke pinggiran sungai, Mei justru memilih berdiri di depan teras rumah yang menghadap jalan setapak meski sedikit tertutupi rimbunan bambu. Menunggu dengan gelisah tak bisa berkeluh kesah, apalagi mengeluhkan kepada ibunya, pasti akan langsung dicibirnya.