Chapter #2 Saatnya Balas Dendam
“Kelahiranmu itu malapetaka bagi Salim dan keluarga besar yang lebih memilih harga diri daripada kemanusiaan. Kau adalah aib besarnya! .”
“Maksud Ibu?” Tanya Mei dengan wajah bingung.
“Ya, kau itu noda hitam yang harus disingkirkan dan dibuang dari baju kehormatan keluarga Salim ayahmu itu.”
Mei terus berusaha menyangkal tuduhan itu, meski hanya dalam hati. Mei merasa Yueyin tidak benar, karena ia tak pernah merasakan seperti apa yang dituduhkan ibunya itu. Bertahun-tahun dia bertemu ayahnya, tak pernah sekalipun ayahnya menyebutnya sebagai aib yang harus disembunyikan. Bahkan ia selalu merasakan kasih sayang yang berbeda, apalagi ketika ayahnya menatap matanya, dan tersenyum seakan ia satu-satunya sumber kebahagiaannya.
Sebagai kanak-kanak, Mei belum bisa memahami apa yang sebenarnya tengah dipikirkan ayahnya tentangnya, terutama saat memandanginya. Apakah benar Salim seburuk seperti sangkaan ibunya?.
“Tapi, kau tahu Mei, aku tak pernah menganggapmu sebagai aib meskipun kau datang dengan cara yang tak pernah bisa kubayangkan. Tapi ini membuktikan keragu-raguanku selama bertahun-tahun, ketika kakak-kakak Salim ayahmu menuduhku tak bisa memberikan keturunan untuk adik laki-laki satu-satunya itu. Aku merasa bisa membalas dendam atas tuduhan mereka semua. Terbukti kemudian jika ayah tersayangmu itu yang bermasalah, bukan aku.” ujar Yueyin dengan wajah merona puas.
"Akhirnya dalam kekalahannya Salim memilihkan rumah untuk kita sekarang ini sebagai tempat pembuangan kita. Ia mungkin berpikir, tak boleh ada tetangga tahu aibnya dan bertanya-tanya, dimana Yueyin, mengapa Yueyin tinggal sendiri, ada apa dengan suaminya, mengapa istri sedang mengandung di buang di tempat sunyi terpencil?.
Satu-satunya orang yang boleh tahu hanyalah saudara jauh Yueyin. Entah bagaimana ceritanya, mereka kini menetap di seberang sungai, tak jauh dari rumah Mei.
Kaki gunung di pinggiran desa tempat Mei tinggal itu, jarang di kunjungi penduduk, berudara segar dengan pemandangan indah. Kaki gunungnya menjuntai jatuh ke ngarai berbatas dengan langit biru.
Penerangan di rumah itu berasal dari kampung pinggiran yang utasan kabelnya ditarik merentang panjang, dengan tiang-tiang listrik yang diongkosi Salim sendiri demi keputusan paling konyolnya menurut Yueyin.
Salim tetap tak mau ambil risiko jika aib itu akan membuatnya malu besar, apalagi jika kabar berita itu sampai kemana-mana, kepada para koleganya. Dan terutama keluarga besarnya yang tak pernah bisa menerima kenyataan buruk itu. Yueyin akhirnya yang harus dikorbankan untuk menutupi semua “bau busuk” aib itu.
‘Ayahmu pasti sekarang merasa tenang di rumah besar itu, dengan istri-istri barunya, sementara kita adalah lembaran masa lalu yang telah dilupakan dan tak pernah siapapun akan mengungkitnya lagi.”
“Dan kau tahu Mei, ternyata keluarga besar itu telah mengarang cerita luar biasa, bahwa kita dianggap telah hilang dalam kerusuhan itu. Kita telah dianggap mati!. Jadi jangan pernah berharap bisa mengunjungi lagi rumah ayahmu, jalan-jalan di mal seperti bualan Salim ayah kesayanganmu itu.
“Jangan percaya!!.” Yueyin mengatakannya dengan setengah membentak seolah sedang menyemburkan amarahnya.
“Aku satu-satunya orang yang peduli denganmu, dan akan selalu ada untukmu. Dengarkan!, jangan pernah tinggalkan ibumu!”. Kali ini nada Yueyin terdengar getir, menyimpan kekuatiran, kesedihan dan ketakutan yang tertahan. Bercampur gejolak dendam, marah, kebencian dan kekuatan yang rapuh.