Sepanjang jalan Salim merasakan sudut matanya berkedut-kedut, rasa kantuk masih menggelayut setelah perjalanan dari luar kota semalam menyita waktu tidurnya, tapi hari ini Sabtu minggu kedua, ia tidak punya pilihan membatalkan kunjungan ke rumah gunung. Jadi Ia meminta Danu supirnya untuk tidak mengganggunya karena ia akan menyempatkannya tidur sejenak. Tapi setiap kali memincing mata terlintas bayangan Mei dengan mata bulat yang merengek memintanya jangan terlambat. Mei minta setiap menitnya harus dihabiskan dengannya tidak boleh kurang.
“Ada kejutan untuk ayah Sabtu nanti”, begitu katanya saat ia mengantar Salim pulang hingga di ujung batas sungai saat mereka bertemu sebelumnya. Rasa penasaran Salim pada akhirnya membuatnya makin tidak bisa memincingkan mata, memikirkan apa kejutan Mei sebenarnya.
Kunjungan Salim kali ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa, begitu menurut Mei yang telah menunggunya tidak sabar sejak Jum’at malam. Salim juga diliputi rasa yang sama, tapi sama sekali tidak bisa menduga apa kira-kira kejutan Mei kali ini.
“Ayah harus janji, akhir minggu ini harus datang, apapun alasannya”, rengek Mei ketika itu, sambil menyodorkan jari kelingking memintanya “janji kelingking”. Salim yang ditodong Mei, langsung memberikan jari kelingkingnya, dengan cara ditautkan, lantas kedua ibu jarinya disatukan membentuk sebuah simbol “cinta”.
“Janji harus ditepati ayah!”. Kali ini Mei tidak peduli dan langsung memeluk ayahnya, sementara Yueyin melirik sinis dan kemudian menatap tajam ke wajah Mei yang sama sekali tidak peduli, bahkan kali ini seperti sengaja berusaha unjuk diri dan memberontak.
Apalagi ketika Salim, sama sekali tidak memberinya sinyal kepastian, meskipun sudah melakukan janji jari kelingking, yang menurut Mei itu masih belum cukup. Mei butuh jawaban yang bisa membuat hatinya tenang dengan kepastian jawaban. Jadi ia terus menggelayut di lengan ayahnya.
Meski baru memasuki minggu kedua bulan Mei, angin sejuk mulai terasa mengusik. Mungkin Aphelion akan datang lebih awal tahun ini, meskipun biasanya terjadi di bulan Juli, jadi Mei merapatkan sweternya untuk menutupi hawa dingin itu.
Pohon-pohon pinus mengeluarkan desau angin, seperti siulan lembut. Burung-burung ribut berkicau di dahan-dahannya yang keriput. Menarik lebih banyak sulur-sulur ranting cemara dan ilalang, berusaha membuat sarang menjadi lebih tebal untuk menepis hawa dingin dan menghangatkan anak-anak yang masih menerima kunyahan biji-bijian, atau serangga-serangga kecil yang harus dilumat karena belum bisa menelan biji-bijian dan makanan secara langsung.
***
Saat itu tengah musim kemarau, memasuki bulan ketiga sejak April dengan matahari tidak begitu terik, begitu juga rumah Mei, di kaki bukitnya yang sejuk. Mereka bertiga duduk di depan rumah tepat di beranda, tidak jauh dari rimbunan cemara pua-pua dan flamboyan yang sedang berbunga merah menyala.
“Aku tahu apa yang kuinginkan untuk ulang tahunku, “Mei memberi tahu Salim sambil setengah berbisik.
Sejak kunjungan kemarin, Salim tak berhenti menceritakan tentang kota-kota yang berubah, taman hiburan yang baru dibuka dengan kora-kora raksasa dan bianglala jika kita tengah berada di puncak, bisa melihat seluruh antero kota hingga ke kaki langit yang kini sedang membuat rasa penasaran banyak orang. Tapi yang lebih menarik hatinya adalah keinginan untuk bisa berkunjung ke rumah Salim, rumah ayahnya dimana Yueyin ibunya pernah tinggal disana sebelum mereka pindah, atau tepatnya dibuang.
Rumah yang katanya seperti istana. Mei berharap bisa melihat rumah besar itu, melihat kamar Yueyin ibunya itu. Mei membayangkan seindah apa tempatnya, seperti pernah di ceritakan Yueyin tentang gorden dan vitrasenya yang lembut, dengan lantai keramik berukuran besar yang mengkilat dan ditutupi ambal Persia tebal berwarna hijau lembut seperti lumut tebal.
“Aku ingin bisa bertemu dengan semua keluarga besarku yang lain”, kata Mei.
“Aku ingin bermain bersama mereka, pergi jalan-jalan dengan mereka, naik bianglala dan kora-kora raksasa bersama-sama.”
Setelah Mei menyebutkan permintaannya, mendadak suasana yang begitu hangat berubah gelisah dan kikuk. Mei bisa melihat Yueyin yang sedang memandangi Salim yang wajahnya kini pucat, dengan sedikit gusar.
“Kenapa harus sekarang Mei, ayahmu sedang sibuk dan beberapa hari nanti juga harus keluar kota”, ujar Yueyin sambil memberikan kedipan mata kepada Salim, kali ini tetap berusaha tenang. Sementara Salim justru sedikit goyah dan gelisah, mendapat tatapan Yueyin yang terasa jengah dan memaksa.
Salim mendekatkan wajahnya ke wajah Mei yang masih bergelanyut di lengannya, “Benar kata ibumu, ayah akan sibuk, lagipula mereka semua juga tak punya waktu, sedangkan bianglala itu tidak sepanjang waktu diputar, jika nanti dibuka lagi mungkin kita bisa mengunjunginya, lain waktu kita pasti bisa jalan-jalan kesana. Mungkin kamu harus memikirkan hadiah lain, Mei.”
"Selama ini aku tak pernah meminta apapun yah, ini permintaan pertamaku" kata Mei dengan wajah memohon. Mei memang selalu mengalah, bahkan ketika ia mendesaknya bercerita tentang keluarga besarnya, dan ayahnya mengalihkan pembicaraan, Mei memilih diam, menyembunyikan rasa kesalnya. Salim menyadari itu, tapi ia tak mungkin memenuhinya.
"Tolong yah! sekali ini saja,"pintanya dalam nada rengekan.
Keinginan Mei makin sulit untuk dipenuhi. Kali ini Mei terus mendesak dan tidak mau bergeming. Situasi genting tanpa pilihan jalan keluar itu membuat Yueyin dan Salim makin canggung, jadi ia langsung berdiri, sementara Mei masih merengek memohon permintaannya dipenuhi tanpa mau melepaskan gelayutannya di lengan Salim ayah kesayangannya itu. Ia tidak lagi peduli jika Yueyin ada didepannya, ia tidak lagi peduli apa yang sekarang sedang dirasakan Yueyin.
Salim beranjak berjalan menuju jalan setapak dipenuhi rasa gelisah, sementara Mei mengikutinya dari belakang dan kemudian menggandeng lagi tangan ayahnya lebih erat lagi. Di belakangnya Yueyin hanya mematung, tidak berkata apa-apa, wajahnya juga pucat dan cemas. Salim tiba-tiba merasa begitu menyesal telah bercerita terlalu banyak kepada Mei, sekalipun itu dimaksudkan hanya untuk menghibur putrinya.
Tapi ia tidak menyadari jika Mei akan berulang tahun pada bulan yang sama dengan namanya itu, seperti juga istrinya Yeuyin Magdalena yang biasa ia panggil dengan Mei, sebuah kebetulan yang langka karena juga lahir di bulan yang sama "Bulan Mei", dan kali ini meminta hadiah yang mustahil bisa dipenuhinya.
Salim menyadari bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan dan tidak mungkin terjadi, ia tahu bahwa keberadaan mereka berdua, Mei dan "Mei" Yueyin tidak lagi ada dalam catatan kehidupan nyata Salim di dunia keluarga besarnya. Mereka sudah lama di anggap tiada--mati, keputusan yang dipilih keluarga besar Salim, tanpa harus meminta izin dan mengabaikan segala bentuk protes Yueyin yang ketika pertama kali mendengarnya meradang dan berusaha memberontak.
Tapi ketika ia akhirnya menyadari bahwa ia juga bergantung pada kekuatan keluarga besar di balik kebaikan Salim, Yueyin akhirnya mengalah. Hanya semata demi Mei satu-satunya harapan yang masih ia miliki untuk bisa bertahan hidup dan memiliki sedikit asa dalam keterasingan penjara. Mei tidak pernah tahu jika kedatangan Salim selama ini dilakukan diam-diam tanpa seorangpun di rumah besar itu tahu.
Danu satu-satunya orang yang mengetahui kunjungannya itu, dan tentu saja ia tutup mulut. Perjalanan bisnis, janji bertemu kolega dan banyak alasan lain selalu digunakan Salim untuk memuluskan kunjungannya itu.
Kunjungan Sabtu adalah satu-satunya alasan yang masuk akal sebagai bentuk penerimaan Yueyin atas kejahatan tindakan pengabaian Salim atas dirinya. sebuah simbiosis yang aneh. Yueyin jelas mengambil keuntungan dari situasi tersebut. Ia tak mau terbuang percuma, Salim menurutnya harus terus menderita--merasakan tekanan dan rasa sakit hatinya.
Bagaimanapun jika Yueyin memilih lepas dari Salim, hidup bebas dengan segala persyaratan yang bisa ia minta kepada Salim, bisa saja itu dilakukannya, tapi ia memilih terus melibatkan Salim dalam bentuk rasa bersalah yang harus terus diterima dan dirasakannya. Yueyin tak pernah mau mengalah demi alasan itu.
Mei satu-satunya yang masih bisa membuatnya memiliki harga diri, dan segala pamrih Salim ayahnya, hanyalah konsekuensi yang memang semestinya harus dilakukan Salim, dan Yueyin tidak mau menyia-nyiakan situasi dan kondisi itu sebagai cara terakhir membuat Salim tetap bisa terhubung dengannya dan Mei yang dianggap anaknya. Yueyin tidak mau harus mengorbankan diri membanting tulang memikirkan bagaimana mereka harus bertahan, setelah apa yang keluarga besar Salim lakukan terhadap mereka, dan setelah penderitaan yang ia alami yang tidak semestinya harus ditanggungnya.
Maka mau tidak mau Yueyin seolah menerima kesepakatan untuk tetap menjaga Mei sebagai sebuah konsekuensi, meskipun dengan pamrih itu. Sebenarnya apapun akan dilakukan Yueyin untuk menyayangi Mei bahkan meski ia harus mengorbankan nyawanya. Tapi sesekali Yueyin tetap menggunakan Mei sebagai perisai jika diperlukan hanya sebagai trik belaka, jika Salim atau keluarga besarnya mengulah.
Setelah hidup selama sepuluh tahun bersama Salim, Yueyin memahami seperti apa hati Salim, dan sisi-sisi yang dapat digunakannya untuk membuatnya terus merasa bersalah, dengan menyeret Mei untuk terus mengusik hati kecilnya. Bahkan kekonyolan keputusan Salim membuangnya, tidak begitu mengejutkan Yueyin, meskipun hati kecilnya tetap terus memberontak tidak bisa menerimanya.
Itulah mengapa Yueyin berada dalam posisi dilematis harus bersikap ketika berhadapan langsung dengan Salim setiap kali mereka bertemu pada hari Sabtu di hari kunjungan Salim menemui Mei setiap dua minggu sekali setiap bulannya. Selain masa lalu manis diantara mereka berdua, tidak ada apapun yang tersisa.
Sepanjang jalan menuju batas sungai sebelum menyeberang Mei tetap bersikeras meminta kepastian jawaban Salim, dan terus menggelayut lekat di tangannya.
“Begini saja, nanti ayah akan meminta seseorang datang menjemputmu dan membawamu kesana. Kalian semua nanti bisa menikmati apa saja yang kalian mau, tapi ayah tak mungkin bisa menemanimu.” Salim berusaha untuk terus mengelak dari desakan Mei yang matanya kini basah makin menggenang. Salim tidak bisa lagi berkutik, jadi ia kemudian langsung memeluk Mei. Yueyin kali ini tidak protes sama sekali, karena mereka berdua memang berada dalam situasi tidak punya pilihan.
Ia membiarkan Mei beberapa lama, hingga ia merasa tenang dan melepaskan tangannya dari Salim. Dan ketika Mei menoleh ke arah Yueyin, dilihatnya wajah itu teduh, sama sekali tidak menunjukkan sikap dan air muka jengah dan marah.
“Besok. Siang hari, aku akan menunggu Ayah di sini. Besok!.” Nada Mei seperti mengancam. Tiba di pinggir sungai, Salim hanya menatap Mei, dan melambaikan tangan tidak berkata apa-apa.
Ia berjalan diantara kerikil-kerikil sungai yang kering, melompat ke batu dengan pinggiran air bening dangkal berisi ikan-ikan kecil. Salim terus berjalan merenung, setengah melamun, sesekali membalik badan dengan canggung, berusaha tersenyum sebisanya. Tapi pikirannya bergolak keras. [Kapan semua ini akan berakhir?], batinnya.
Kali ini gejolak batin dan pikiran Salim dipenuhi perasaan yang membuatnya terkoyak, apakah ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka, dan selanjutnya ia hanya mungkin bisa mengirim orang untuk memberikan semua keperluan untuk Yueyin dan Mei.
Jika ia tidak bisa memenuhi janji Mei besok, dan di hari- hari lainnya, sesuatu yang mustahil yang bisa ia lakukan, maka Mei akan semakin meradang dan ia akan semakin terpojok dalam situasi dilematis. Yueyin sudah pasrah jika Salim memutuskan hanya mengirim semua keperluan mereka, meskipun sejak lama ia telah menolaknya. Karena dengan menemui Mei langsung, Salim bisa merasakan sendiri penderitaan, kesunyian dan perasaan diasingkan yang Yueyin dan Mei rasakan selama ini.
Salim tidak mungkin menyampaikan alasan sebenarnya mengapa ia harus menolak permintaan Mei, ia juga tidak akan pernah bisa menolak permintaan Mei, putri satu-satunya yang sangat disayanginya. Dan ia akan semakin kesulitan keluar dari jerat rengekan Mei, jika kali lain di hari-hari Sabtu berikutnya ketika ia menemuinya, dan dengan sangat terpaksa harus bersiap dengan seribu alasan untuk menjawab, mengapa ia tidak bisa memenuhi permintaan sederhana di hari ulang tahun putrinya.
Apa sulitnya hanya mengajaknya mengunjungi rumah besar Salim, toh ia tidak akan menuntut untuk pindah kesana, hanya sebuah permintaan anak yang sederhana yang menginginkan sebuah liburan, jalan-jalan bersama saudara-saudaranya, itu saja!.
Ketika Salim semakin jauh dan menghilang di rimbunan bambu di seberang sungai, Mei berbalik untuk pulang. Dilihatnya Yueyin kali ini berdiri gelisah mondar-mandir di teras dengan wajah dipenuhi kejengkelan dan amarah. Tapi Mei tidak lagi peduli.
“Bagaimana kau bisa bisa bertindak bodoh Mei, jangan pernah meminta dan berharap pada laki-laki itu. Kau tahu bagaimana ibumu dibuang. Kau bisa merasakan betapa kita tak pernah mendapat penghargaan lebih baik, dari siapapun di keluarga ayah kesayanganmu itu. Mei, belajarlah menerima kenyataan, buang keinginan tak jelas itu”. Kemarahan Yueyin memuncak menjadi seperti ledakan pada akhirnya.
“Kau pikir ayahmu, Salim akan memenuhi keinginanmu, dan menganggapmu sebagai anaknya?. Bahwa kau diharapkan oleh keluarga besarnya, bisa bertemu dengan saudara-saudaramu?. Ingat!, cuma ibumu satu-satunya orang yang menyayangimu dengan tulus lebih dari siapapun. Hanya aku satu-satunya yang kau miliki di dunia ini. Karena kita sudah dianggap mati oleh keluarga besar ayah kesayanganmu itu. Dan jika aku mati, kau tak akan memiliki siapa-siapa lagi. Tak akan ada siapapun peduli padamu. Karena kau bukan siapa-siapanya mereka!” Aku akan mati jika kau pergi. Turuti kata-kataku sekali ini,” nadanya terdengar rapuh dan menghiba. Yueyin tidak peduli ketika menyebut mereka telah dianggap mati, Mei sendiri terlihat tidak peduli seolah mendengar kata itu seperti muntahan kemarahan Yueyin seperti biasanya.
Mei terdiam dengan kedua tangan menggenggam jari-jari saling meremas dan butiran keringat muncul dikeningnya. Ia kemudian mengatakan bahwa ia hanya akan berjalan-jalan. Ia tahu jika terlalu banyak bicara, Alzheimer ibunya akan kambuh, mungkin ibunya akan lupa segalanya. Atau menjadi panik, atau melakukan hal buruk, tapi semuanya bisa diobati, cuma Yueyin sendiri yang tidak pernah mau peduli dengan dirinya sendiri.
Entah ia menganggapnya sebagai cara menyiksa dan menghukum dirinya sendiri, atau mungkin ia merasa dengan cara itu akan terus menciptakan rasa simpati dari Mei, dan Salim, agar terus merasa bersalah telah menyia-nyiakan keluarganya.
Jika ia bisa mengatakannya tanpa harus dibebani perasaan, Mei akan berteriak. Ia merasa kesal karena selalu menjadi alasan ibunya untuk menyerang ayahnya, ia merasa dimanfaatkan. Meskipun ia menyadari betapa penderitaan ibunya begitu berat, dan tidak semestinya ayahnya memperlakukan ibu dengan cara begitu. Ia hanya ingin keduanya bisa berdamai suatu waktu, memiliki kedewasaan untuk menerima kenyataan.
Menjadi dewasa ternyata sulit. Ia sering tidak memahami bagaimana orang dewasa berpikir dengan ke-egoisannya. Seperti tanpa nurani, padahal mereka orang dewasa yang seharusnya serba mengerti dan memahami masalah dengan logika kedewasaannya.
Ketika menghadapi masalah ada kalanya mereka berusaha untuk berpura-pura tidak peduli, atau merasa seperti sudah tahu jalan keluarnya, meskipun sebenarnya mereka sedang merasa ketar-ketir, tapi tidak mau menunjukkannya kepada anak-anak mereka.
Kadangkala alasannya agar anak-anak tidak merasa berkecil hati mengetahui masalah yang sedang dihadapi para orang tua, dan membiarkan anak-anak tetap merasa nyaman memiliki orang tua tanpa masalah. Tapi kadangkala alasanya begitu dangkal, demi ego agar mereka tidak terlihat lemah dimata anak-anak, begitu menurut Mei.
Ia tahu jika Yueyin bersikeras juga mempertahankan harga dirinya. Ia menjadi satu-satunya alat yang bisa digunakan untuk menguatkan pertahanannya. Tanpa Mei, Yueyin adalah ibunya yang rapuh dan mudah goyah.
Yueyin ketakutan, jika Mei pada akhirnya akan dipertemukan dengan kebahagiaannya yang lain dengan keluarga besar yang selama ini disembunyikan dengan rapat oleh Yueyin dengan mengatasnamakan rasa permusuhan dan perasaan dibuangnya, serta kekuatan yang berusaha diciptakan Yueyin dengan menjadi sosok ibu tangguh di mata Mei. Ia bahkan menarik Mei dalam pusaran titik lemahnya, agar Mei juga bisa merasakan penderitannya.
Semua wujud kekuatan, harga diri, perasaan diterima, dimiliki, sesuatu yang terlihat dimiliki Yueyin, semuanya telah hilang, direnggut sejak peristiwa jahanam Mei 1998 itu. Apakah artinya semua yang dilakukan Yueyin, baik atas nama rasa terbuang, atau hanya ego pribadinya itu sebuah kejahatan?, ataukah hanya menutupi kelemahan yang tidak bisa ditanggungnya sendiri.
Yueyin, sebenarnya hanyalah sebuah benang basah yang tidak lagi bisa tegak berdiri tanpa dukungan, kecuali bertumpu pada sisa-sisa kekuatan dari Mei putri satu-satunya yang tanpa sadar diseretnya dalam pusaran lingkaran setan nasib buruknya.
***
Angin terasa sejuk di bawah rimbunan bambu dengan gemericik air di alur sungai yang mengalir lambat. Kedua kaki Mei yang telanjang menjejak permukaan air bening, membiarkan dingin menembus hingga mata kaki. Matanya sebentar-sebentar mengawasi ujung seberang sungai, di kelokan dimana ayahnya biasanya muncul, dan dengan tangan terentang ia akan tersenyum lebar menyambut Mei.
Memasuki minggu menjelang akhir bulan Mei ini, beberapa kali hujan gerimis turun, disertai angin dingin. Langit kemarin berwarna hitam jelaga seperti hendak memuntahkan seluruh persediaan air yang tersembunyi di awan yang di tariknya perlahan dari hulu-hulu sungai yang deras dan penuh, dari laut-laut dengan gelombang landai, dari waduk-waduk yang dipenuhi air berlimpah, dari rongga pori-pori air yang membentuk sumur-sumur bermata air jernih, tapi hingga menjelang siang hujan tidak jadi turun.
Mei semakin tenggelam dan masyuk dalam kecemasan bercampur amarah, kesal dan rasa tidak percaya, jika ayah kesayangannya mentah-mentah mengecewakannya dengan membohonginya. Beberapa kali ia bangkit dari bebatuan yang semakin terasa panas dan membuatnya penat.
Matahari terus naik hingga ke sepenggalah, dan kini di tengah hari yang semakin hangat, matahari terkurung awan hujan dan menciptakan halo dengan lingkaran besar seperti sebuah kornea di mata langit yang putih, Salim masih belum menampakkan diri.
Mei makin gundah, dan sesekali berdiri memastikan kedatangan ayahnya. Ia lantas kembali kerumah dengan setengah berlari, duduk di kursi mahoni di teras dengan muka kesal. Karena merasa dibohongi. Tidak ada gunanya janji kelingking itu pikirnya. Bagaimana mungkin seorang ayah, bisa mengingkari janjinya sendiri kepada anak perempuannya?, Mei tidak habis pikir.