Chapter #9 Benar Kata Yueyin
Mei tidak tahu harus merasa takut atau bagaimana. Karena laki-laki bernama Chao itu kini telah sah jadi suaminya. Mestinya tidak ada alasan baginya untuk menolaknya, atau berusaha kabur darinya. Chao menggamit lengannya ketika menuntunnya berjalan. Tapi kecanggungan itu masih merupakan kejutan yang menakutkan baginya. Ia masih tidak terbiasa mendapat perlakuan, seperti ketika disentuh pundaknya saat berjalan di trotoar ketika mereka tengah mencari tumpangan.
Ia bahkan masih merasa jengah, jika Chao menatapnya, meski dari kejauhan. Ia masih menganggapnya orang asing, dan pandangan itu terasa mesum dipikirannya seolah menelanjanginya tanpa sungkan, lalu merasa risih, setidaknya hingga saat perjalanan menuju rumahnya Chao belum berakhir.
“Inilah jalan ke rumah kita”, Chao berusaha bersikap ramah kepada Mei ketika akhirnya, mereka sampai di ujung komplek.
“Di disini kamu juga akan tetap bisa melihat gunung-gunung, meskipun tidak terlalu dekat, tapi kita bisa mengunjungi di arah barat sana.”, Chao terus berkata-kata berusaha mencairkan suasana, sambil menenteng koper. Deretan pohon-pohon trembesi dengan daun-daun hijau kehitaman yang rimbun memayungi sepanjang jalan yang beraspal tipis.
Deretan rumah-rumah itu sebagian besar berlantai dua, dengan dinding-dinding berhimpitan dengan halaman depan yang kecil. Pagar-pagar kayu, menutupi setiap rumah, dengan pintu-pintu berengsel kecil yang membuat beberapa pintu kelihatan tidak sanggup menahan beban, membuat pintu-pintu tidak bisa mengayun dan ujungnya jatuh ke tanah membantuk garis-garis melengkung.
Chao berjalan di depan dengan langkah-langkah besar, di atas pundaknya ia letakkan koper, dan di tangan kirinya kardus-kardus yang terikat tali ditentengnya. Sementara Mei harus setengah berlari mengikutinya di belakang, dengan dua buah kardus berukuran kecil.
Sebuah rumah berwarna biru toska dengan sebuah sepeda tua teronggok berkarat, di sisi rumah yang terlihat kosong, dengan beberapa daun jendela jatuh dan kacanya pecah. Talang di atas rumah berayun-ayun ketika angin berhembus. Burung-burung terbang, mengepak sayap dengan membawa potongan ilalang, membuat sarang di kisi-kisi jendela yang kosong tidak berpenghuni.
Beberapa anak-anak kecil berlarian di jalanan, sementara ibu-ibu mereka duduk di depan teras, beberapa dari mereka mengobrol diantara pohon-pohon akasia yang rimbun, sesekali terdengar tawa. Dan mereka terdiam ketika Mei dan Chao melintas dengan tergesa di depan rumah mereka.
“Akhirnya kita sampai,” kata Chao ketika mereka berada di depan sebuah rumah berlantai dua berwarna krem, tapi lebih kecil dari rumah Salim ayahnya, tidak terlalu lebar, dengan atap-atap genteng tanah yang berwarna coklat kusam. Perumahan itu berada di areal permukiman kelas menengah masih di pinggiran kota. Meskipun begitu, dibanding rumahnya di gunung, rumah Chao jauh lebih menarik dan lebih besar. Dengan sebuah lampion pudar yang tergantung miring diujung serambi depan.
Perumahan ala developer lapar, di kota-kota satelit di sekitaran ibukota yang tumbuh dengan cepat, menawarkan rumah-rumah berukuran kecil di permukiman daerah pinggiran yang menjadi tujuan para urban. Rumah-rumah yang ditawarkan para developer dengan harga sepantasnya dengan kantong para pekerja yang hilir mudik dari pinggiran ke ibukota kala pagi hari, dan sore hari seperti ribuan semut-semut memenuhi jalanan yang makin macet.
Sementara di ibukota sendiri slum-perumahan kumuh menjamur memenuhi pinggiran sungai, rel kereta api, dan tanah-tanah kosong milik negara yang terbengkalai. Nyaris setiap tahun para petugas Pamong Praja harus berkelahi mengusir para urban yang menduduki tanah-tanah pemerintah yang tidak bertuan, atau memaksa mereka membayar upeti sebelum kelak akan digusur.
Sementara di pinggiran rel-rel kereta api, gubuk-gubuk memenuhi sepanjang jalan hingga ke bibir rel menanti bahaya. Bahkan beberapa pedagang akan menarik terpal lapaknya menjelang kereta lewat, dan mengembalikannya ketika kereta berlalu, tanpa merasa lelah.
Para developer banjir orderan, ketika rumah-rumah susun tidak lagi begitu diminati, dan perlahan-lahan mulai ditinggalkan dan menjadi sarang para bandit, pemabuk dan pengedar narkoba serta gelandangan-gelandangan yang bermalam dan mengisap bong-bong narkotika.
Permukiman murah bercampur dengan banjir rutin kala musim penghujan tiba, dan rob membanjiri permukiman di kala purnama di sisi Utara ibukota setiap bulannya.
***
Gerbang rumah itu terbuat dari besi tempa dengan lapisan papan tebal, dan jalan setapaknya dipasang comblock ditumbuhi rerumputan teki dan ilalang yang memanjang tidak terawat di pinggirannya. Jendela-jendela kaca dengan tirai-tirai kelabu dengan motif bunga-bunga lili kecil yang telah memudar terpapar cahaya matahari. Mereka masuk ke teras dengan pintu berwarna putih dengan catnya sedikit terkelupas.
“Lihat, disebelah kananmu ada juga bukit-bukit seperti di rumahmu dulu,” kata Chao.
“Pohon-pohonnya lebih besar, bukan cuma pohon jati dan pinus, kita akan sering kesana karena tempat kerjaku tak jauh dari sana”.
“Salim ayahmu bilang jika kamu ingin jalan-jalan ke Mal, menonton bioskop, ke taman hiburan, mungkin suatu hari kita akan melakukannya setelah kita beristirahat”, nada Chao seperti sedang merayu, berusaha untuk akrab dan membiasakan Mei berada didekatnya tanpa sungkan.
Chao terus berusaha berbicara meskipun Mei tetap membisu, “Rumah sedikit kotor, sekarang ini rumahmu juga, jadi tidak ada salahnya nanti kamu juga menghiasnya biar lebih cantik, seperti…”, ia menghentikan kata-katanya, seperti menggantung di angkasa, dan memandang kearah Mei sambil tersenyum nakal yang masih sulit diterjemahkan Mei entah itu lelucon atau rayuan.
Begitu kunci terbuka, pintu berderit karena ujung pintu sedikit turun dan menyentuh lantai membentuk garis melengkung dengan keramik aus yang tergores berbunyi seperti gesekan batu yang bisa membuat nyeri gigi bagi yang tidak biasa mendengarnya. Hawa pengap menguar keluar dari ruangan tertutup yang tidak dimasuki udara segar. Bagian dalam rumah ternyata lebih besar, berbeda dari tampak depan yang tinggi dan kecil.
Sebuah ruang tamu dengan satu buah sofa abu-abu pendek, dan sebuah meja kayu mahoni persegi panjang tanpa alas berpelitur halus. Diatasnya berserakan puntung-puntung rokok yang dibiarkan terjatuh dari asbak yang dipenuhi abu rokok yang meruah tumpah. Dengan beberapa gelas plastik bekas kopi yang mengering.
“Aku tidak sempat membersihkan setelah kunjungan teman-teman kantor kemarin, karena keburu harus menyelesaikan urusan kita kemarin” ujar Chao seolah menjawab pertanyaan saat pandangan Mei yang kaget melihat meja penuh cemar itu. Rumah itu terlihat kotor, jelas sekali tidak pernah ada sentuhan tangan seorang perempuan. Sebuah kipas angin kecil berbentuk unik tanpa penutup terali, seperti kipas angin di kafe berada dipojok ruangan dengan debu tipis melekat memenuhi bagian belakang kisi-kisinya.