Di pinggiran Jakarta yang ramai dengan para pekerja urban, bioskop itu adalah yang terbesar dan paling ramai dikunjungi apalagi di akhir pekan. Bangunan itu dipenuhi jendela kaca yang besar, sehingga terlihat terang. Lampu-lampu dari plafon berwarna kuning yang lembut membuat suasana terasa romantis. Dan lampu gantung besar di lobi membuat ruangan itu indah dari pendar-pendarnya. Beberapa kedai kecil berjejer disisi kanan penjual karcis menyajikan makanan ringan dan minuman dengan banyak pilihan.
“Kamu nanti akan terkejut, melihat layar begitu besar di dalam”, goda Chao sambil mengenggam dua tiket di tangannya.
“Aku pikir kamu beruntung memiliki aku” lanjut Chao masih menggodanya. Seolah mengejek kurang pergaulannya Mei, sehingga sama sekali belum pernah melihat bioskop. Chao mendekat dan menyentuh bahu Mei, mengajaknya masuk ke dalam ruangan, Mei berusaha menepis dengan cara berjalan sedikit menjauh tanpa disadari oleh Chao.
“Bagaimana, kamu suka?”
Bagi Mei ini menjadi pengalaman luar biasa, ruangan terang dengan deretan kursi-kursi berwarna merah itu seolah tanpa dudukan, ketika kita menarik atau mendorong salah satunya, maka bagian dudukan untuk bahu akan terangkat begitu juga dengan bagian kursi yang akan diduduki terbuka dari lipatannya. Menakjubkan, batin Mei.
Ia duduk ketika Chao menarik kursi untuknya, dan Chao berusaha merapat ketika menyerahkan bungkusan jagung yang menurut Mei aneh, berwarna putih seperti bunga kapas yang mekar, tapi bertekstur lembut dengan rasa mentega melekat di lidah ketika ia memakannya untuk pertama kali.
Chao seperti mengambil kesempatan berusaha untuk mendekati dan menyentuh Mei setiap kali menjelaskan sesuatu kepada Mei. Ia dapat mendengar desah nafas Chao menempel di telinganya, begitu juga dengan bulu-bulu di tangannya yang mengesek lengannya ketika ia duduk bersandar di kursinya. Mei menarik tangannya, merasa risih. Tapi selalu saja, Chao berusaha mendekatkan wajahnya ketika berbicara sambil berbisik.
Chao sengaja memilihkan filmnya. Mei yang baru pertama kali dan merasa canggung di biskop, tidak bisa berbuat banyak. Ruangan bioskop itu lumayan besar, dengan deretan kursi-kursi plastik mika yang terasa dingin karena ruangan berpendingin ruangan, bukan kipas angin. Dengan deretan poster-poster film dalam bingkai kaca bening yang ditempel disepanjang dinding di koridor bioskop. Beberapa film perang, drama, kartun dan film Titanic yang dipilih Chao.
Bioskop itu terletak di dalam Mal, menempati sisi utara pusat perbelanjaan yang sebagian dindingnya langsung berbatas dengan jendela-jendela besar yang ditutupi tirai berwarna merah maron. Sebuah layar berukuran raksasa berwarna putih terletak di bagian depan ruangan tersebut.
Sementara di bagian belakang adalah balkon yang berisi kursi-kursi Very Important Person-VIP dengan harga yang sedikit lebih mahal dari kelas biasa di tengah dan didepan, dengan posisi lebih tinggi dari kursi penonton lainnya. Mereka memilih di tengah.
Tidak lama ketika deretan penonton semakin penuh, lampu tiba-tiba dimatikan, dan Mei merasa terkejut. Tapi ia hanya berpikir mati lampu sebentar dan akan hidup lagi. Chao disampingnya berbisik ”jangan takut, filmnya sebentar lagi akan dimulai”. Jantung Mei terasa berhenti, ketika Chao berbisik dan bibirnya menyentuh daun telinganya.
“Apa lampunya memang harus dimatikan?” Mei bertanya seperti protes kepada Chao.
“Beginilah bioskop”, kata Chao singkat tanpa menjelaskan alasannya.
***
“Bagaimana menurutmu”, tanya Chao ketika mereka berjalan-jalan di sepanjang trotoar. Mei sama sekali tidak berkomentar.
“Kamu suka, Mei,” tanya Chao menunggu suara keluar dari mulut Mei.
“Baiklah, kita mampir sebentar ke Mal,” kata Chao ketika tiba-tiba seperti mengingat sesuatu dan tidak lagi menunggu jawaban Mei.
“Ada yang harus aku beli”. Ia tidak menjelaskan tapi kemudian melangkah lebih cepat memasuki sebuah toko pakaian, sementara Mei berjalan di belakangnya.
Mei hanya mengikut saja, dan diminta Chao menunggu di bagian pakaian perempuan.
“Kamu bisa cuci mata dulu disini, jangan kemana-mana, aku segera kembali”, Mei hanya mengangguk dan mengikut saja. Hampir setengah jam kemudian, Chao kembali, mengajak Mei berkeliling dan berakhir dengan makan malam. Chao bilang malam ini Mei tidak perlu masak, dan mereka memilih makan di luar di sebuah restoran steik.
Mereka tidak langsung pulang, karena malam minggu kota begitu ramai, orang lalu lalang seperti tidak berhenti. Bergerak cepat seolah dikejar sesuatu, beberapa yang lainnya terlihat santai, duduk di kursi-kursi kafe yang tersedia di pinggir jalan berbatas dengan trotoar, atau di bangku kayu di pinggiran trotoar di bawah cahaya lampu temaram.
Ketika mereka berjalan, tangan Chao yang berayun seolah dengan sengaja berusaha menyentuh tangan Mei. Ketika bersentuhan, Chao melirik Mei dan tersenyum kearahnya, senyum yang hanya bisa dipahami Mei sebagai sesuatu yang nakal dari suaminya. Mei selalu merasa sungkan, dan selalu merasa ketakutan dengan situasi tersebut.
Mei melihat pasangan yang berjalan didepannya, seorang perempuan muda dan laki-laki yang sebaya, berjalan bergandengan tangan, berdekatan, dan sesekali berangkulan. Mei merasa risih, jika Chao memperhatikan hal tersebut, dan kemudian melihat kearah Mei dengan tidak berkata-kata.
Mei tahu maksud tatapan suaminya itu, tapi ia tetap saja ketakutan.
“Kalau kita berjalan ke utara, disana ada tempat pemandian air panas,” kata Chao menjelaskan tanpa diminta.