TEDUH DALAM BARA Dua Perempuan Dari Teluk Naga

Hans Wysiwyg
Chapter #13

Chapter #13 Kehilangan Berulang

Chapter #13 Kehilangan Berulang

 

Rumah sakit itu adalah salah satu yang terbaik di kota Chao tinggal, tapi layaknya rumah sakit di republik ini, mesinnya boleh saja mengalahkan mesin canggih di rumah sakit Singapura, tapi soal layanan selalu saja menjadi masalah yang tidak pernah tuntas.

Antrian yang saling menyerobot, koneksi yang bisa memangkas antrian, termasuk uang masih bisa menjadi perantara memudahkan semua urusan. Termasuk kelas-kelas tertentu yang mendapat previles karena memiliki sisi tawar berupa kuasa, begitu juga koneksi. Jadi tidak mengherankan jika budaya antri, sulit dibangun dalam mindset pecundang yang masih berpikir menggunakan uang dan kuasa untuk membeli aturan.

Layar televisi di atas meja resepsionis menyiarkan lagi demo rutin tahunan, tentang pencarian keadilan para korban kekerasan 1998, beberapa lembaga beraliansi mendorong Pemerintah bertindak kongkrit daripada terus beretorika memutar-mutar masalah, sementara orang berusaha terus melawan lupa.

Beberapa pengunjung yang tidak punya pilihan menjadikan televisi sebagai satu-satunya hiburan yang tersedia, sementara Chao yang biasa menggebu soal berita pencarian keadilan para penyintas kasus 1998, kali ini sama sekali tidak peduli.

“Sudah nomor berapa antriannya Mbak”, Chao kembali menuju meja perawat dengan mimik wajah kesal, dan tentu saja si perawat yang telah semalaman berjaga hanya memintanya untuk bersabar, sampai tiba gilirannya. Karena soal sabar, para perawat itu sudah lebih dari batasnya, lelah, mengantuk, ditambah harus menghadapi ocehan, dan makian para pasien dan keluarganya yang semuanya meminta antrian mereka dipercepat karena tidak sabar atau kesakitan yang tidak tertahankan.

Tapi Chao tetap saja mondar-mandir di depan meja pendaftaran rumah sakit untuk memastikan bahwa nomor urut antriannya sudah diterima perawat di ruang periksa dokter spesialis kandungan yang dikunjunginya, karena menurutnya sudah lebih dari satu jam, nomor antrian sepertinya berputar terus di nomor belasan, sementara Mei dan Chao telah mendaftar sejak sore dan mendapat nomor urut 23, dan menurut jadwal seperti disampaikan operator diseberang telepon saat mendaftar waktunya antara jam 20.00 hingga jam 20.45.

“Sebaiknya bapak duduk”, kata seorang perawat senior berwajah keras yang kesal melihat Chao membuatnya semakin merasa sibuk diantara kerumunan orang yang panik dan tergesa. Mei menarik Chao dan memintanya duduk dan bersabar menunggu saja.

Setiap kali ia duduk di dekat Mei ia akan mengelus perut istrinya itu, apalagi menurut diagnosa sebelumnya diperkirakan anaknya laki-laki, tapi posisi janinnya sungsang, tapi itu masih bisa berubah seiring waktu, karena waktu melahirkan masih juga belum mendesak, setidaknya untuk saat ini, sehingga masih ada waktu bisa menunggu.

Mei pernah berpikir, apakah perhatian dan rasa penasaran Chao terhadap anaknya, hanya karena berharap anaknya setidaknya akan memiliki wajah seperti anaknya yang telah meninggal dahulu, seperti fotonya yang pernah dilihat Mei dalam kotak biru di laci kamar Chao?. Tapi Mei kini tidak peduli, selama Chao bisa menyayangi anaknya yang adalah darah dagingnya sendiri.

Chao pantas kuatir, karena selama tiga tahun pernikahannya, Mei sudah dua kali dinyatakan hamil oleh dokter, namun karena kondisi rahimnya yang lemah, maka dua kehamilan sebelumnya gagal, sebelum memasuki trimester pertama.

Mei selama ini selalu dipenuhi perasaan cemas dan tekanan, mungkin itu membuat tubuhnya juga melemah, begitu juga dengan kandungannya. Dan Chao setiap kali merasa begitu kecewa dan beberapa kali pulang malam dengan nafas menguar bau alkohol sebagai pelampiasannya, dan seringkali berubah menjadi begitu pemarah.

Kematian ibu saat masa kehamilan dalam kurun waktu 42 hari setelah persalinan adalah salah satu ancaman pembunuh yang sering terjadi. Begitu juga perdarahan postpartum setelah sehari atau hitungan minggu setelah persalinan yang membuat syok dan gagal fungsi organ.

Termasuk juga komplikasi kehamilan, seperti preeklamsia dan eklamsia, akibat tekanan darah tinggi, dan adanya protein dalam urin yang merusak organ. Beruntung Mei tidak memiliki riwayat penyakit tertentu, mungkin udara gunung dan makanan alami yang mereka tanam sendiri, menjadikanya selalu sehat meski terpenjara.

Mei bisa merasakan perubahan sikap Chao setiap kali Mei mengandung. Chao menjadi lebih sering tinggal di rumah dan melakukan pekerjaan dari rumah atau pulang kantor lebih cepat dari biasanya sebelum malam. Chao akan lebih perhatian dengan membelikan Mei makanan-makanan dan roti-roti yang lezat, atau apapun yang menjadi permintaan Mei selama kehamilannya. Seperti umumnya ketika seorang ibu hamil mengidam.

Chao akan menuntun Mei ke kamar, apalagi ketika menaiki tangga, bahkan Chao pernah menawarkan jika ia akan merenovasi ruang di bawah tangga untuk dijadikan kamar, agar Mei tidak perlu naik turun tangga selama kehamilannya, apalagi sejak kegagalan dua kehamilannya.

Chao juga melarang Mei melakukan banyak pekerjaan dan memilih untuk memasak sendiri jika sedang bosan memakan makanan siap saji yang dibelinya sepulang kerja. Atau beberapa kali Mei melihat Chao menyeduh mie instan ketika benar-benar lapar, tanpa mau mengganggu istirahat Mei.

Selama waktu-waktu ini, Mei merasakan perhatian itu sebagai sebuah kebahagiaan yang tidak pernah dirasakan selama hidupnya. Ia merasakan Chao begitu tulus mencintainya, dan Mei menepis jika semua itu dilakukan Chao karena menganggap Mei layaknya sedang mengurus kehamilan mendiang istrinya yang berwajah mirip dengan Mei. Perasaan mencintai yang pernah ragu-ragu dirasakan Mei terhadap Chao perlahan tumbuh bersemi.

Lihat selengkapnya