Mei berpikir, pertarungan yang sebenarnya akan segera dimulai. Ia tetap saja merasakan ketakutan dan kecemasan yang menjalar di tubuhnya. Aliran darah seperti enggan bergerak dan tubuh terasa panas padahal kulit terus mengucurkan keringat.
Ia merasakan trauma dan luka di tubuhnya yang masih terasa nyeri meski beberapa kali telah mendapatkan penanganan dalam kondisi darurat. Kekerasan Chao sudah nyaris tidak tertanggungkan. Apalagi jika Chao pulang dalam keadaan mabuk, dan melampiaskan semua kekesalan pada Mei, yang kondisinya masih dalam pemulihan usai melahirkan.
Chao tak pernah peduli soal keselamatan Mei, sama sekali. Mei mau tak mau hanya tinggal menunggu pertarungan dengan Chao karena Hong palsu kini telah dibungkam.
Mungkin Chao di tempat kerjanya sekarang sedang merasa di atas angin, tersenyum-senyum sendiri hanya tinggal memetik hasil. Sekali dayung dua tiga pulau terlampui. Dengan hanya selembar surat, Xixi akan takluk, kekayaan Xixi akan jatuh ketangannya sebagai “suaminya” dan selamat tinggal untuk Mei, yang kini sama sekali tidak punya arti apa-apa lagi buat Chao.
Mei sudah memperingatkan Xixi untuk tak lagi berkomunikasi dengan Chao. Cara paling mudah menggantinya dengan nomor baru dan menyimpan nomor lama sebagai salah satu barang bukti jika nanti diperlukan. Situasi ini membuat Chao tak bisa menghubungi Xixi dan seluruh komunikasinya putus.
“Kenapa belum ada kabar dari Xixi?” gumam Chao saat duduk di ruang kerjanya usai pulang dari proyek. Pikirnya lagi, mungkin Xixi memilih menunggu dan akan menyampaikannya langsung saat ia pulang seminggu lagi.